Minggu, 18 Desember 2011

M O T H E R super M O M


Pagi, Januari kesembilan belas. Tiga bulan setelah Benazir Bhutto dilantik sebagai perdana menteri Pakistan, aku melengkapi keluarga ini menjadi bilangan lima. Dia, bapakku, dan dua anak yang mendahului lahir dari rahimnya.


Pagi, tahun ke empat.
Seorang berkacamata berbincang dengannya di ruang tamu. Sebagai balita, aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Yang jelas, sejak hari itu, dia selalu berangkat pagi memakai baju PDH bersama bapak, dan pulang hampir sore. Aku kehilangan teman bermain, tinggallah nenek yang menemani. Sejak hari itu, aku menunggunya sempat menidurkanku. Aku hanya menginginkannya, bukan nenek yang membujukku tidur dengan dongeng-dongengnya.


Pagi, tahun ke enam
Aku kecil berlari menggendong tas, melipir jalan raya. Itu adalah hari pertamaku masuk TK. semua antusias dengan hari itu, begitupun aku. Sesaat setelah aku sampai, dua orang berseragam PDH memasuki halaman TK mengendarai sepeda motor, itu dia dan bapakku. Aku kecil tidak ambil pusing, tapi kini aku ingat dan menyadari, bahwa dia dan bapakku sejurus kemudian berlalu, berangkat ke tempat kerja. Dan aku menjadi satu-satunya siswa yang tidak didampingi orang tua pada hari pertama.
Hari-hari kemudian tidak jauh berbeda,  selalu berangkat sendiri, dan pulang sendiri. Pernah suatu hari aku mengeluh, kenapa yang lain selalu dijemput sepulang sekolah, sementara aku harus pulang sendiri berjalan kaki. Esoknya, ketika aku sampai separuh perjalanan pulang, aku bertemu dengannya. Melihatku, dia segera turun dari sepeda, menaikkanku pada sadel belakang, membawa serta aku pulang.


Pagi, tahun ke enam.
Dia dipanggil konferensi di Jakarta. Empat atau lima hari, entahlah aku lupa. Aku tidak begitu dekat dengan bapak, dan karena itulah aku merasa sepi tanpanya. Setiap hari aku menanyakan keadaannya pada bapak, dan selalu dijawab seadanya. Hari ke tiga, ketika dia menelepon, bapak melaporkan kondisi rumah kepadanya, termasuk aku. Kakiku bernanah, dan itu sakit.
Keesokan hari sepulang sekolah, ada setumpukan travel bag di depan kamar. Aku bersorak. Dia izin pulang dari konferensi karena aku sakit, sakit kaki.


Maghrib, tahun ke tujuh
Dia dan kakak laki-lakiku sedang duduk di sofa depan sementara aku di make up. Sejam kemudian, aku menari di atas panggung, dia menungguiku hingga selesai.


Malam, tahun ke sepuluh
Suasana ramai, di sekitarku sudah banyak pengunjung. Tenda tampatku bermalam sejak sehari sebelumnya terasa sesak. Melalui penerangan seadanya, mataku mengitari setiap sudut lapangan, mencari sesuatu. Malam itu semua peserta gladian pemimpin regu pramuka boleh menerima kunjungan dari sanak saudara. Teman2 sereguku sudah saling melepas rindu dengan ayah ibu mereka. Aku masih mencari, meski tahu tidak akan menemukannya.
"Ki.." sapa suara dari balik pagar
Aku menoleh. Hampir senang. Rupanya Bulik dan sepupuku yang sedang berdiri di sana, menyodorkanku seiris semangka. Mereka mengunjungiku, mewakilinya, karena dia sedang dinas ke luar kota. Aku mengucapkan terimakasih sebelum mereka pulang. Sepeninggal bulik, dan sepeninggal pengunjung-pengunjung lain, aku duduk menghadap pagar, di luar tenda, meneteskan air mata.


Pagi, tahun ke dua belas
Dia dan bapak menjemputku. Wajahnya tidak ramah seperti biasa. Sepanjang jalan di bis hingga seharian di rumah, aku tidak diajak bicara semestinya. Dia kecewa. Keinginannya agar aku bisa mengikuti program mondok selama bulan Ramadhan tidak terwujud. Selama di pondok, aku sering menangis di kamar, menyendiri di anak tangga, hingga lebih memilih malas melakukan apa-apa, padahal aku bersama kakak perempuanku. Mendengar pengaduan kakakku itulah, pada hari ke empat aku memaksa pulang.


Malam, tahun ke dua belas
Kuletakkan sendokku begitu saja, tiba-tiba selera makanku hilang, padahal nasi masih beberapa suap kumakan. Dia baru saja memberitahu bahwa pekan depan setelah saat itu dia akan dioperasi rahim. Dua pekan setelahnya lagi, rumahku ramai oleh tetangga yang ingin mengetahui kondisinya, yang sudah hampir sehat.


Malam-malam tahun ke lima belas
Dia sering merintih kesakitan. Bapakku sudah berusaha sana sini agar sakitnya hilang. Aku sering bersembunyi di balik pintu karena tidak tega melihatnya menahan sakit sedemikian hebat. Beberapa pekan kemudian, rumahku kembali ramai oleh orang yang ingin berkunjung mengetahui kondisi ibuku yang sudah hampir sehat, sama seperti dulu kecuali bahwa dia sudah tidak lagi memiliki rahim.


Malam tahun ke enam belas
Melalui ponsel teman, dia sering menghubungiku. Mengirimkan doa-doa. Ketika dua hari kemudian aku pulang membawa berita bahwa aku harus kembali ke Malang untuk babak final, dia pun bercerita.
"Baru tiga hari sampean gak ada, kami sudah seperti orang bingung. Ke sana ke sini ketemunya orang berdua saja. Gimanaa nanti kalau sampean sudah kuliah..." katanya. Bapak mengiyakan tanpa melihatku. Mata bapak menerawang ke arah televisi, tapi aku tahu bahwa pikirannya sedang tidak ada di situ.

Baiklah kawan, perkenalkan, ibuku.
Tidak begitu pandai memasak, namun ajaib, lewat suapan jemarinya, nasi terasa lebih istimewa.
Koleksi jilbab dan tasnya banyak. Ketika aku atau kakak perempuanku kembali ke perantauan masing-masing, koleksinya akan berkurang.
Tidak begitu hobi belanja.
Jiwanya mengajar dan mendidik.
Tidak tegaan.
Cantik, setidaknya di mataku.

Dialah ibuku,
Yang suaranya kunantikan tiap akhir pekan.
Yang kemarahannya sering benar2 jadi musibah, dan restunya menjadi anugerah.

Dialah ibuku,
yang menunda menabung untuk naik haji hingga anak-anaknya lulus kuliah.
yang makan malam paling akhir, setelah yang lain makan.

Dialah ibuku,
yang tidak pernah menyuruhku belajar.
yang justru tertawa ketika nilai-nilaiku jatuh, karena merasa kejatuhan itu biasa saja.

Dialah ibuku,
yang tidak jarang kusakiti, tapi akan segera tersenyum kembali bahkan sebelum kemarahanku hilang.

Dialah ibuku,
Yang wajah dan lambaiannya selalu ada di luar jendela, tiap kereta membawaku kembali ke Jakarta.

Dialah ibuku,
Yang jika aku boleh meminta, akan kumintakan surgaNya untuknya.

Dialah ibuku,
Cahaya.
Cinta.

Sabtu, 10 Desember 2011

Sabtu Lapak Sarmili, Harusnya Aku Lebih Peduli

Yanti (paling kanan)


Yanti, masih ingat dia? adik TPA lapak prihatin, yg beberapa waktu belakangan ini cukup menyita perhatian kami, para pengajar dan eks pengajar TPA Alfalah. Yanti sudah agak lama memutuskan berhenti sekolah. Kabar yang kudengar ada banyak versi, mulai dari cekcok dengan orangtua, masalah dengan teman sekolah, ketiadaan biaya dan sebagainya yang kalau mau diambil benang merah cukup sulit. Itulah sebabnya aku merencanakan sabtu usai talaqqi di An Nashr untuk menemuinya, atau ibunya.

Yanti adalah sulung dari tiga bersaudara, usianya sekitar 13 tahun. Lahir dan besar di lingkungan yang kurang bersahabat, yang mana seharusnya anak seusianya kala itu mendapatkan kasih sayang penuh dari seorang ibun, Yanti justru besar dalam asuhan neneknya sementara sang ibu bekerja sebagai TKI. Ketika adik pertamanya lahir, keluarga Yanti merantau ke Jakarta (Tangerang lebih tepatnya) dan mempertaruhkan segalanya untuk hidup seadanya, benar-benar seadanya.



anak-anak di Saung Bambu Pelangi
Di Lapak Sarmili, sebutan kami untuk sbuah kompleks pemukiman pendatang di kawasan Jurangmangu Timur, Tangerang Selatan, aku dipertemukan Allah dengan anak-anak manis ini, termasuk Yanti dan keluarganya, yang sepertinya memang menjadi keluarga paling dekat di antara warga lapak. Yanti termasuk anak yang cerdas, semangat belajarnya tinggi dan selalu menjadi yang paling depan mengajak teman2 nya yang lain setiap kali kami datang mengajar. Bacaan Alqurannya paling lancar di antara yang lain, dan sampai aku lulus kuliah,Yanti sudah hampir khatam. Melihat potensi dalam diri yanti, aku menaruh harapan besar padanya. Bahwa ia akan menjadi ujung tombak perubahan di Lapak Sarmili. Menjadi contoh tunas muda yang bercita-cita tinggi dan berhasil meraih cita-citanya.

Karenanya, aku mengazzamkan diri, akan melakukan segala cara untuk dapat membantu Yanti dan anak-anak yang lain agar bisa terus sekolah, terus mengaji, melupakan kebiasaan meminta-minta dan pada akhirnya tidak menuruni profesi memulung dari orang tua mereka. Menempuh perjalanan dari kos kosan ke Lapak Sarmili memang melelahkan, bahkan seringkali rasa malas membayangi setiap niatku berangkat. Kalau rasa malas lebih berkuasa dan aku urung berangkat, bisa dipastikan semalaman kemudian hati ini tidak tenang, seperti telah berhutang.

Manusia paling mulia di jagad ini mengatakan bahwa seburukburuk manusia adalah yang tidak menebarkan manfaat atas ilmunya. Astaghfirullah, jika aku sehat, aku berilmu setidaknya bisa membaca abata dan abece, jika aku punya waktu luang, jika aku masih diberi rizqi berupa makanan dan uang, hendakkah aku disebut termasuk dalam barisan orang terburuk menurut Rasulullah dengan memenangkan rasa malas karena cuaca mendung atau terlampau panas?
“mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik”,  kata Anies Baswedan.

Demikianlah, aku sering berangkat dengan kaki berat. Berangkat dengan setengah hati, berangkat dengan setengah nyawa (baru bangun tidur maksudnya), berangkat dengan angan2 ke mana-mana. Meskipun begitu, segala rasa berantakan yang kubawa dari rumah akan sirna dan capek yang kurasakan akan terbayar. Pekikan anak-anak dari jauh sambil berlari kemudian meraih tanganku, menciumnya, atau memelukku, atau menarik lenganku, atau malah menghilang karena malu belum mandi, menghilangkan segan seketika. Meski sering pula kedatanganku dan teman-teman tidak disambut sehangat itu, bahkan aku harus berkeliling mencari anak yang mau diajak ngaji, menunggu mereka selesai mandi. Pernah suatu kali aku berangkat melewati jalan yang masih kering kerontang, pulangnya harus menerjang banjir hampir selutut. Lapak Sarmili berlokasi di samping sungai pembuangan sampah, sehingga setiap ada hujan besar air sering meluber menggenangi permukiman. Sebuah yayasan keagamaan, yang akan kuceritakan lebih jauh di belakang, pernah menginisiasi progam sekolah sanitasi lapangan untuk ibu-ibu Lapak Sarmili. Mereka diajari cara membuat lubang biopori, menanam tanaman per kepala keluarga, dan mendaur ulang sampah plastik menjadi barang-barang berguna. Cukup berhasil, air hujan besar yang mengguyur Jurangmangu belakangan hanya membuat jalan sekitar becek berlumpur.

Lain kesempatan aku menemani anak-anak belajar mata pelajaran umum, membantu mengerjakan PR dan sebagainya. Khusus Yanti, mungkin aku agak bersikap diskriminatif, dan mungkin orang-orang tahu bahwa aku memeperlakukannya “lebih” dari anak-anak yang lain. Setiap PR yang dilaporkannya kepadaku, akan kusambut dengan tawaran bantuan, baik itu mengerjakan bersama-sama di Saung, di Mushola, atau di kosku. Pernah aku bela-bela datang ke lapak malam-malam untuk mengajarinya matematika. Kalau ada kesempatan belajar di kosku, aku sering menghibahkan perlengkapan yang sudah tak terpakai kepadanya. Aku memantau nilai sekolahnya yang alhamdulillah selalu menjadi peringkat pertama di kelas. Entah karena saingannya sama-sama anak yang “asal sekolah” atau karena PR nya sering kubantu atau memang karena dia rajin, entahlah. FYI, Yanti bersekolah di sekolah gratis untuk kaum dhuafa di mana kebanyakan anak yang bersekolah di sana berasal dari keluarga yang kurang mampu yang sayangnya juga kurang mengerti arti penting pendidikan. Aku juga akan menanyai apakah uang sekolahny sudah terbaya, sehingga jika ada kekurangan aku dan teman-teman bisa membantunya. Semua karena aku berharap banyak padanya.

Aku lulus dari STAN, magang di kota kelahiran, sehingga praktis aku kehilangan kontak dengan Yanti dan anak-anak yang lain.
Beberapa waktu lalu aku mendapat laporan dari adik tingkat yang saat ini memegang kepengurusan Alfalah, komunitas pengajar TPA yang kesemuanya mahasiswa STAN, bahwa Yanti sudah lama berhenti sekolah.
Yap, azzamku diuji. Aku sudah menjadi pegawai bergaji cukup, bahkan lebih. Tidak ada alasan lagi seperti ketika masih kuliah dulu aku tidak bisa mengatasinya. Sayangnya, berhentinya Yanti dari sekolah disinyalir bukan karena masalah biaya. Adik tingkatku belum bisa menemukan alasannya pula sampai saat ini. Itulah yang mendorongku untuk sesegera mungkin menemui Yanti atau keluarganya dan membicarakan masalah ini. Jadilah kemarin usai dari An Nashr aku berangkat ke Lapak Sarmili. Pemandangan yang menyambutku agaknya membuat pikiraanku kacau setelahnya.

Yanti memang berlari mendekati dan mencium punggung telapak tanganku seperti biasa setelah melihatku datang dari kejauhan. Lama tidak bertemu, penampilan Yanti lebih modis, di mataku seperti remaja2 populer SMA yang umunya tergabung dalam klub dance atau cheerleaders. Dua buah mobil menunggunya dan beberapa anak lain. Itu adalah mobil jemputan “kakak kakak bule”, sebut mereka. Aku kurang paham dengan penjelasan Yanti mau kemana mereka, yang terdengar sekilas mau tampil, masuk tivi, dance dan apalah aku tidak mengerti. Oya...belum kutuliskan bahwa Yanti konon telah mendapatkan beasiswa untuk bersekolah kembali dari “kakak kakak bule” tersebut. Ketika kutahan dia untuk sejenak berbincang, Yanti memilih untuk tidak berlama-lama. Ibu dan bapak Yanti sedang tidak ada di rumah, dan memang mayoritas warga Lapak Sarmili tidak ada di rumah mereka siang hari. Anak-anak yang sedang libur sekolah, menurut Yanti, ikut pula bersama dua mobil itu. Setelah bersalaman, aku melihat Yanti dan Tina, adiknya menuju mobil jemputan mereka. Akupun berlalu, mengurungkan niat untuk berbincang dengan Yanti dan keluarga.

Jika mereka, kawan-kawan bule itu datang dengan semangat sosial, murni hanya karena dorongan sosial, aku tidak akan sekhawatir ini. Prasangka menyeruak saat hatiku bertanya mungkinkah bahwa mereka adalah orang yang sama dengan para pengajar sekolah sanitasi, badut yang sering mengambil perhatian anak-anak sementara anak-anak harusnya pergi mengaji, dan orang-orang baik yang beberapa kali membawa simbol2 keagamaan. Sudah beberapa kali ada anak mengadukan gelagat sebagian aktivis tersebut tentang kecondongan pada suatu misi agama tertentu. Haruskan aku mencurigai mereka merupakan missionaris? Aku bukan seorang fundamentalis, aku menghargai keberagaman, apalagi jika keberagaman tersebut menciptakan persatuan yang mengarah pada perbaikan. Betapa indahnya jika kita yang berbeda suku dan agama ini bekerjasama. Tapi bukan begini caranya...

Adik-adikku, anak-anakku di Lapak Sarmili sedang kami perjuangkan untuk diperkuat aqidahnya, mengingat kehidupan mereka sangat jauh dari “kesadaran” beragama. Kefakiran mendekatkan kepada kekufuran, itu yang kami khawatirkan. Orangtua mereka sibuk berusaha dan berpikir caranya menyambung hidup, sehingga bisa jadi anak-anak sementara “tersisihkan”. Aku tidak mau melihat Gono dan Mila meminta-minta di sekitar kampus lagi, aku akan sakit hati mendengar salah seorang dari mereka berbicara kasar dan jorok, aku akan merasa gagal kalau tahu Ria mendapat nilai merah, aku tidak mau mendengar kabar Yanti putus sekolah, dan yang paling penting, aku dan teman-teman akan sangat berdosa jika “kehilangan” salah satu anak itu, dalam artian, aqidahnya tercemar, keIslamannya kabur, bahkan memilih berpindah keyakinan di depan mata kami yang lebih asyik dengan dinamisasi kampus dan kantor. Naudzubillah min dzalik. Maafkan aku teman-teman bule, sebenarnya ini bukan kesalahan kalian. Ini kelalaian aku dan teman-teman yang mengentengkan arti saling menanggung dalam persaudaraan Islam. Kalian punya hak mengembangkan sayap “dakwah” secara agama kalian sebagaimana kami wajib, jika memang misi keagamaan menjadi salah satu proyek kalian di Lapak Sarmili. Sekali lagi bukan, ini bukan salah kalian, ini salah kami.

Berjalan gontai di sepanjang Lapak Sarmili-Bintaro, hatiku remuk. Aku lelah menyadari bahwa selama ini aku memperjuangkan anak-anak setengah hati. Lihatlah kawan-kawan bule. Mereka total, all out, berani mengeluarkan anggaran lebih untuk menyenangkan hati anak-anak, mengajak mereka nonton film bersama bahkan main ke Dunia Fantasi, menggelar sekolah sanitasi, mengembangkan bakat minat dan menyalurkannya, serta melatih warga menjadi lebih mandiri dan sadar lingkungan. Aku dan kawan-kawan? Selain mengajar ngaji dan belajar, kami seolah mengalami kebuntuan ide. Penyesalan dan kekhawatiran bercampur.

Wahai Yang Satu, hindarkan kami dari ketidakpedulian dan dari sikap individualis yang membatukan hati dan membutakan mata kami, dari kesusahan saudara-saudara kami. Teguhkanlah kami dan mereka , warga Lapak Sarmili di jalan Mu, berikan kekuatan agar bisa kami rengkuh mereka dengan kehangatan persaudaraan Islam.


Senin, 24 Oktober 2011

Catatan Akhir Diklat



"We were the last passenger on the bus," I hummed. That was a gloomy friday night. I remember the time they waved their hand outside the window while the bus slowly passed, and their shapes were gradually faded.                           


Bagaimanalah,
(mungkin) ini kali terakhir kami bertemu dalam suasana penuh keakraban ala teman. Kembali ke kantor masing-masing, berkutat dengan rutinitas harian, memainkan peran sebagai 'pegawai’ dan ‘bawahan’.
Ada yang nantinya bakal sering ketemu karena masih di Jakarta, ada yang harus 'beterbangan' ke mana-mana, Surabaya, Medan, Makassar, Manado, Pontianak, Jayapura, pokoknya di manapun ada bandara di seluruh penjuru nusantara, tanggal 20 November 2011 kemungkinan besar akan menyambut kedatangan mantan siswa DTSD Pajak I dari Jakarta.




Dua bulan bisa dibilang waktu yang pendek untuk mengenal lebih dalam, namun dua bulan sudah cukup mencetak kenangan-kenangan.


Here they are...
Mana bisa orang ini kulupakan? Okelah, kantorku memang hanya berjarak sepelemparan batu dari tempatnya bekerja, kalau aku lapar, sepertinya bakal sering menemukannya di kantin atau Indomaret. hoho... Tapi aku akan kehilangan tawa renyahnya setiap dosen menskors kuliah untuk coffee break, dan akan merindukan caranya menangkupkan kedua telapak tangan di muka kalau sedang tersipu. He’s a cute and warm bookworm. Hei superbonekaaa, aku akan merindukan semua tentangmu termasuk kursi-kursi miring itu, :D










Voila, duo HWI. Yang selalu aktif di setiap perkuliahan, dosen yang menyenangkan atau bukan, pagi siang sore, senin hingga Jumat, AC dingin atau mati. Sepertinya hanya sekali kutemui this boy tidak memperhatikan perkuliahan, dan sayangnya, itu adalah sekalinya kami duduk bersebelahan, ngobrol ngalor ngidul hingga pulang. Pfff, giliran duduk samping orang pintar aku malah memberi pengaruh buruk.  Ini juga terjadi kalau aku bersebelahan dengan Al Ukh, bedanya, duduk di manapun, dia akan tetap fokus pada dosen. Fokus Fokus.... *pura-pura lupa foto yang kuambil di jam PBB* wahaha. Kelas nggak hidup sebelum mereka bertanya, menyanggah, mendebat, membetulkan, menambahkan, dan me- me- yang lain. The most influential people tiap ada tugas ‘berat’ dari dosen. As we know, memang kelihatan, lulusan STAN macam apa yang ditempatkan di HWI.




Other damn clever boys, yang penempatan di homebase, sehingga membuatku bertanya-tanya, apa dasarnya IP pas-pasan sepertiku di'anugerahi' Jakarta. Mari membayangkan, dua orang ini, di sudut kelas yang berbeda, duduk melipat kaki, memainkan pulpen di ujung jari, tidak begitu kelihatan bahwa mereka sedang memberi atensi, dan yap, sang widyaiswarapun harus berkali-kali menerima interupsi. Sudah sering kutemui cowok yang banyak bicara, tapi baru beberapa yang gaya bicaranya sangat khas, sering-sering beyond expectation, mengena dan berbobot, sangat sistematis. But however, mereka juga anak muda, sering nggaple’i...



Ada dua lagi, sengaja kupisahkan dari clever boys meski mereka sebenarnya juga tidak kalah cerdas dan kritisnya di kelas. Berasal dari kota yang sama, yakni kota yang aku sangat ingin tinggal di sana, sebagai homebaseku kelak. T.T... Dua ini pandai mengambil alih suasana, bikin kelas tidak membosankan. Aneh saja, tapi justru ini yang membuatnya unik dan unforgettable, booming alamt palsu bisa dibuat bulan-bulanan. Yak, sebut dia the Tingting. Idenya membuat presentasi KUP ala newscasting patut dikasih dua jempol. Nah kalau si Abra, kenapa dia unik, karena dia tidak bisa diam, dalam kondisi apapun dia pasti bergerak, apanya yang digerakkan, apapun, kapan bergeraknya, kapanpun....


ucup is in the house...
Abra sebelas duabelas dengan orang ini, yang hebohnya terangkum dalam role play bersetting di KPP Surabaya Penyakitan. Serius, presentasi mereka hari itu kereeen...bisa sekaligus mempopulerkan ungkapan orang ini----“nggak gitu gitu juga kaliii..” Yang mana orangnya? Iya benaar, yang di setiap kali ada kamera dia paling niat bergaya. Sampai-sampai ada yang bikin fans club di partychapp, konyol konyol...




Tragedi sepatu. Ini menyangkut nama beberapa orang. Nama pertama adalah dia yang sepatunya dengan tanpa dosa akibat kesadaran minim kubawa pulang, sebelah. Gyaaaa....aib ini, aiib... #tutupmuka. Ya gimana lagi kawan, ketololan macam apa yang kuperbuat hingga aku baru sadar sedang memakai sepatu asimetris setelah nama pertama ini meneleponku dengan lugu bertanya, “Zaki...kamu merasa ada yang aneh nggak sama sepatumu??”.
Nama kedua ,.....haha, Dasar aku usil, kasie wanna be, paraf di sembarang tempat, termasuk di sepatu baru orang, branded pula... Fragmen ini kuberi judul “Aku, Sepatu, Dia, dan Dia” Berhubung nama kedua masih sekantor, kesan tentangnya belum bisa dituang, ^^v,



Anda punya masalah dengan insomnia? Mungkin orang ini patut dijadikan tempat bertanya. Kenapa? We know laah,.. Jadi, kalau anda sempat, saat dosen masuk kelas dan mulai menyorot layar, anda berhitunglah. Lima hitungan, sepuluh hitungan, dua puluh, tiga puluh, semeniiit, yap, dia mulai kehilangan kesadaran, tertidur lebih dalam, lebih dalam. Sebut saja Bunga, bukan nama sesungguhnya.
But however, Bunga sudah membuat kelasa ini berwarna,..



snack time....
Hfff..
Rasanya terlalu panjang menguraikan kesanku tentang mereka satu persatu. They’re uniquely impressive..
Cute Dinda, yang ekspresif dan suka secara tidak sadar melucu..
Icha, filosofinya dipanggil Icha apa?
cubitan obat ngantuk Onter, berbekas, sumpah..
gombalan Ape n Rudi, juaraaaa... harusnya quote-quote kalian dibukuin,bisa booming itu...
Gilang, stop calling me Zakiyong, aku jadi ngerasa kayak orang Thailang, #eh
Yuni Ermawati dan curhat2an kita, :*
Arini Arale, bola bekel yang jago nyanyi, yg pernah kupukul refleks, dan aku nyadar, itu pasti sakittt...
Putri, tau gak put, aku ngefans dengan pelafalan ‘tSah’ dalam Petisahmu,..:D
senang bisa bertukar cerita sama Andi, sesama penyuka Yui..
Wahyu Wahyu, dapat salam dari Lenovoku..
Lucu banget sih Casi, kita pernah sekelas ya, tapi dulu kamu gak segeje ini.., haha
Harusnya pas ultah kemaren aku ngasih kado bantal lucu buat Hepi, pasti bermanfaat
Ntar sering2 maen ke depan ya Dianaa...
Hmm, belum sempat nyobain buburnya Andrew, ko bisa siih, jadi agen bubur gitu...
Jhon& Gery, kedengeran kaya’ Tom n Jerry, tapi emang miriip, nggak akur tapi selalu bersama.
Jilbabnya berapaan Niar, ‘mahal’ gak? Ahahaha, bakal kangen banget nggodain Niar..
Dewasa itu pilihan, betul bukan Fajrin?
Habis ini telor asin bisa kena pasal gratifikasi kali ya Bay? Cornerman..
Thanks uda mau di aniaya jadi ketua kelas ya Elda, atas jasamu,,,kena PPh pasal 23 gak? #apadeh
Terakhir, soal Vinna.....Kasih Tau Gak Yaaaa...haha




Farewell Fellas, Farewell..
Sebagian pergi meninggalkan, sebagian ditinggalkan, sebagian justru pulang menemui yang dulu ditinggalkan. Kalian sebentar lagi hilang beterbangan, ada yang excited, ada yang tiba-tiba kosong, ada yang sama sekali tanpa kesan.
Perpisahan adalah keniscayaan, seniscaya terbit-tenggelam matahari. Jemput cita-cita di mana mana. Lain hari, kita mungkin akan bertemu dengan status baru, pangkat tinggi, dan ratusan cerita luar biasa tentang perjuangan masing-masing kita. Siapa tahu juga, ada yang beberapa tahun ke depan justru banting setir jadi pengusaha?
Que sera, the future is nout ours to see

We're an adult, right? See you all....

Minggu, 02 Oktober 2011

pengembangan diri versus menjadi orang lain

"Ngapain gua harus seperti itu, gua gak mau jadi orang lain"
Jengkel bukan? jika reaksi itu yang didapatkan dari nasehat kita kepada seorang kawan untuk berhenti bersikap temperamental dan lebih menjaga bicaranya...

Setiap orang terlahir dengan karakter spesifik yang unik, yang sebagian diturunkan secara genetis, dan sebagian lagi mungkin karena "kecelakaan" saat proses kelahiran. Sifat penciptaan inilah yang sering dijadikan justifikasi orang-orang untuk menolak nasehat.

Confucius menyebutkan, ada dua orang di dunia ini yang tidak membutuhkan perubahan, yakni orang yang sangat bijak yang tentunya sudah tidak perlu berubah, serta orang bodoh yang tidak mau berubah.
 Perubahan adalah keniscayaan, seniscaya pergantian waktu, yang diiringi perubahan-perubahan kasat mata seperti proses manusia tumbuh besar, dewasa, menua, hingga mati. Bahkan Allah menyuratkan dalam sebuah ayat dalam Al Quran yang "memaksa" manusia untuk berubah, kalau manusia mau Allah merubah nasibnya. Inilah mengapa proses pengembangan diri adalah keharusan, bagi mereka yang berakal.

I'm not gonna talk about fate, I'm gonna talk about congenital character.

Mari berpikir dengan pola yang sederhana

mana yang lebih baik? pengendalian diri atau sifat temperamental? jika seseorang dilahirkan dengan darah temperamen mengalir di tubuhnya, apakah berubah menjadi lebih bisa mengendalikan diri merupakan kemunduran?
Apakah memepertahankan prinsip "be myself" itu jauh lebih penting daripada mencari kebaikan dan berubah menjadi lebih baik? jika jawabannya ya, mungkin egolah yang sedang bicara.

Think about it...

Selasa, 13 September 2011

Jika Jakarta Bisa Dipacari

Kalau Jakarta pacaran denganku, sebulan lagi mungkin kami putus.
Sayang, Jakarta bukan sesuatu yang bisa dipacari, yang kalau aku mau bisa ditinggal pergi sesuka hati.
Hanya rasa syukur atas nikmat Allah lah yang memintaku untuk belajar mencintainya, karena aku akan hidup di Jakarta untuk waktu yang tidak dapat diperkirakan, well...., boleh jadi untuk selamanya.

Daripada terus mengutuk kemacetan yang tiap hari kutemui saat melangkah keluar pintu rumah, bukankah lebih baik mengagumi jajaran gedung bertingkat yang tampak angkuh dari kolong, namun terlihat kompak dari jendela kopaja tiap melintas di flyover. Kecantikan bukan hanya milik Dieng, Brastagi, Bunaken, atau Raja Ampat saja. Jakarta minus wajah alamiahnya pun bisa menjelma menjadi soooo romantic, sooo beautiful, soooo photogenic, especially on the night.
Bersyukur karena jakarta pusat kehidupan di negeri ini, which is mean, hampir semua kebutuhan materiil dalam hidup orang bisa didapatkan di sini. Pusat perbelanjaan di mana-mana, bahkan mungkin hampir di setiap jengkal tanah jakarta bisa didapati aktivitas jual beli. Fashionista terpuaskan, penggila gadget tinggal memilih, ibu-ibu rumah tangga bebas berbelanja di pasar-pasar tradisional, atau pasar modern yang lebih 'berkelas'. Hanya itu? Jangan salah, sekarang pecinta batik mungkin akan memilih berbelanja di Jakarta daripada harus berwisata ke seluruh penjuru negeri hanya demi melengkapi koleksi batik nusantara.
Pusat pemerintahan, no doubt. Silakan singgah di Jakarta untuk berdemo. Tinggal datangi instansi apa yang mau diprotes. ^^v

Untukku, yang bermimpi mengenyam pendidikan tinggi, Jakarta bisa jadi tempat yang tepat, tentunya dengan berbagai macam konsekuensi. Akses ke pimpinan tertinggi instansi tampatku mengabdi pun lebih cepat, sehingga urusan informasi serta perizinan lebih mudah (mungkin, seharusnya). Lembaga pendidikan formal dan non formal menjamur, tinggal pilih yang sesuai IQ dan sesuai kantong. Butuh fasilitas pendukung belajar dan pelengkap kecintaan akan ilmu pengetahuan tersedia pula.

Inilah Jakarta, semua ada.
Termasuk kesenjangan yang memilukan, dapat ditemui di sini.
Di mana ada gedung perkantoran, di sana ada pengemis meringkuk di sudut jembatan penyeberangan. Ada Alphard "Silver Bird" yang keluar masuk kompleks tinggal para ekspatriat, ada kopaja batuk-batuk yang menebar asap hitam, menyisakan jelaga pada batang pohon di sepanjang jalan "rakyat". Kampung Melayu tenggelam seleher, Menteng beserta istana negara cuma basah sisa hujan semalam. Ada yang sibuk melelang properti kepunyaannya yang tidak laku-laku, ada yang meratap memohon petugas mengurungkan penggusuran permukiman kumuh tempatnya tidur setiap malam.

Senin, 12 September 2011

Cinta part II

Untuk kawanku, Y di seberang sana...

Berbahagialah bahwa menurut banyak orang kau tidak cantik,
Dengan demikian kau tidak akan sering diuji dengan cinta semu yang datang dan pergi.

Berbahagialah bahwa kau tidak sering dipuji,
Karena ketika cinta itu datang, kau akan temukan bahwa cinta itu sejati, bukan cinta birahi.

Bersyukurlah bahwa kau, tidak banyak orang yang menginginkan,
Karena tidak akan banyak kau sakiti orang-orang yang hatinya terpatahkan.

Bersyukurlah dengan apa yang kau punya, tanpa harus berusaha memolesnya dengan kecantikan palsu bermacam warna....
Karena cinta........... bukan cuma kepunyaan mereka yang indah rupa

Minggu, 04 September 2011

Cinta part I

Aku tidak pernah mengucapkannya, karena cintaku padamu terlalu besar untuk sekedar diucapkan.
Pagi tadi kau sibuk mempersiapkan keberangkatanku, membelikan oleh-oleh segala rupa, padahal seandainya bisa, kaulah oleh-oleh yg ingin kubawa serta.
Aku hebat,
karena tadi pagi sudah bisa menyembunyikan airmataku dari pengetahuanmu.
Cengeng ya....entahlah, aku hanya merasakan ada yg tertinggal denganmu, yakni separuh hatiku.
Kalau jauh darimu adalah cara untuk membahagiakanmu, akan kutahan rasa rindu.
 Tuhan menjagamu selalu,ibu...

Jumat, 02 September 2011

I love becoming who I am now

Di dalam Perahu Kertasnya, Dee mencoba menjebol dinding yang menghalangi pandangan orang tentang kehidupan. Keenan yang hampir jenius meninggalkan harapan banyak orang terhadapnya dan memilih jalannya sendiri sebagai pelukis, so does Kugy, dia memilih menjadi penulis dongeng yang bagi orang "kebanyakan" profesi itu enggak banget.

Banyak contoh usaha para seniman atau pencipta dalam dunia hiburan demi menanamkan pada pikiran masyarakat bahwa kebahagiaan itu tidak datang dari berlimpahnya harta secara materi, melainkan kepuasan hati terhadap apa yang kita kerjakan.
Sayang, contoh-contoh yang dipakai melulu mereka yang minatnya cenderung pada dunia seni, yang secara tidak langsung memunculkan kesan bahwa mereka yang bekerja di bawah komando orang, atau yang bekerja dengan ritme monoton, atau yang biasa bekerja ditodong deadline merupakan orang-orang malang yang tidak berhasil merubuhkan dinding itu, dinding yang menghalangi potensi asli seseorang untuk muncul, yang memenjarakan kecintaan seseorang pada sebuah dunia lain.

Poor me, saya PNS.
setinggi-tingginya pangkat PNS tetap saja saya kacung. Semacam itulah simpulan yang terpaksa saya ambil dari membaca banyak novel serta merenungkan banyak lagu.

Sekali-kali adakanlah wahai pekerja seni, liputan mengenai orang yang benar-benar cinta dengan ke-PNS-an nya, well, maybe not me, not yet....but I'm trying to do my best.
meminjam istilah seorang senior, PNS bahagia (my best regard to him, haha), mungkin gak?
kenapa tidak?
Apa yang lebih membahagiakan seseorang yang cinta pada bangsanya selain bisa mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya untuk melayani masyarakat, baik secara langsung maupun tidak? orang lain mungkin masih berpikir untuk memuaskan hasratnya pada apa yang dia benar-benar inginkan, tanpa memikirkan ada orang lain yang berharap dia bisa menjadi sesuatu yang lain. Seperti Keenan, saya pikir dia bukan contoh yang baik bagi anak-anak yang ingin berbakti pada orang tuanya, karena dia mengorbankan banyak harapan demi kesukaannya pribadi.

Andrea Hirata- another example of those who break tradition- chased his so-called the real life, his dream, which are weird for mostly people, then named himself a happy person.
Dapatkah saya mengatakan bahwa ketika seseorang harus menahan rasa bosan oleh ritme pekerjaan yang membosankan dan mungkin tekanan pekerjaan, namun semua itu membuahkan senyuman orang lain, yakni keluarga dan bangsanya sebagai orang yang bahagia? Tidak perlu mendobrak tradisi untuk membuat orang lain tersenyum, jika memang kebahagiaan itu didapat dari kebahagiaan orang lain.
Sacrifice feels enjoyable when somebody helped by it, directly or indirectly, realized or unrealized.
Bagi saya, pekerjaan bukanlah dewa, yang akan saya perjuangkan apapun kondisinya. Saya hanya akan bekerja jika orang lain membutuhkan, dan akan berhenti jika apa yang saya lakukan tidak menghasilkan apa-apa untuk orang lain, bahkan merugikan. Ketika saya menjadi apapun, termasuk menjadi pegawai seperti apa yang saya jalani sekarang, saya mencintainya, and I'm happy with that, meski sebenarnya saya lebih gemar menyanyi, :D
Orang lain tidak perlu mengasihani, dengan berpikiran bahwa saya dan kawan-kawan sesama profesi saya adalah orang yang terjebak dalam kehidupan yang sia-sia. Kesia-siaan itu justru jika saya menghabiskan usia saya untuk kepentingan diri, abai dari masalah orang lain.
Saya anggap rasa bosan, capek, hari-hari menyebalkan karena omelan atasan bahkan cibiran masyarakat yang picik sebagai pengorbanan yang menyenangkan, karena yakin suatu saat pekerjaan saya bisa membuat senang orang lain.

Singkat cerita, "I love becoming Who I Am Now", not "I'm Chasing Something I love"