Senin, 12 Agustus 2013

Post Ramadhan: Kurma




Sabtu pagi, lebaran ke tiga, kami sudah sampai di Jakarta. Pintu terbuka, salam teruluk kepada para 'penjaga' kontrakan selama seminggu kami pulang kampung. Alhamdulillaaaah....aku menghela napas panjang. Pandanganku mengitari segala sudut ruangan.

Sekotak kurma ajwa' yang selama ramadhan kemarin menjadi andalan takjil, tergeletak di karpet. Isinya tinggal seperempat penuh. Ada perasaan ganjil di satu ruang jiwa.

Duhai, 
kenapa selalu sesal yang melepas Ramadhanku setiap tahun,

Apakah yang tersisa darinya?
Akhlakku begini-begini saja,
Al Quran kupegang sekedarnya saja,
 di sela canda tawa bersama kerabat yang lama tak berjumpa

Duhai,
Khusyu' malam-malam ramadhanku cepat sekali berganti
idul fitri, begitu dalihku, sibuk anjangsana,
Disiplin sholat malam ramadhanku, kalah lagi oleh capek perkara duniawi,
Aku jadi lebih antusias memilih pakaian untuk silaturrahiim,
daripada memutar radio dan memilih channel pengajian
 

Apakah yang terisa dari ramadhanku?

Diceritakan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, ”... Sungguh celaka seseorang yang mendapat bulan Ramadan, dan ia pun keluar (dari bulan suci tersebut) sementara dosanya masih belum diampuni oleh Allah SWT. Dan sungguh celaka seseorang yang masih memiliki orangtua renta tapi posisi tersebut tidak membuatnya masuk surga. (HR Tirmidzi)
Duhai, akukah salah satu yang tersebut dalam sabda Nabi itu?

Kuambil sebutir kurma, kucicip lagi manisnya, sambil membayangkan terakhir aku pulang kerja masih menemui keramaian pasar dadakan jelang berbuka di jalan pancoran barat. Puji-pujian dan sholawat bersahut dari corong mushola dimana-mana.

Inilah, yang tersisa dari Ramadhanku tahun ini. sekotak kurma.

Senin, 22 Juli 2013

Ini Pelajaran Tentang Ajal.

Sabtu kemarin, melalui telepon, ibu mengabarkan kematian seorang tetangga.

Suami yang dipanggil ke haribaan Ilahi. Suami ini lama merantau ke Papua. Ketika berkesempatan pulang kampung menjenguk keluarga, Allah memanggilnya.
Istri yang masih muda. Aku tidak tahu pasti, sekitar empat tahun lebih muda dari usiaku, tapi anaknya sudah berusia dua tahun. Menikah saat usianya masih delapan belas atau sembilan belas.
Suami yang malang. Bermaksud merenovasi rumahnya yang masih setengah jadi, sebongkah beton rubuh menimpanya, merusak tengkorak kepala, menggenang darah ke mana-mana. Istri dan anak harus menyaksikan yang tercinta pulang ke rumah yang sebenarnya.

Ini pelajaran tentang ajal.
Hari ini kita punya banyak hal yang kita cintai, kita bersamanya/mereka, kita menikmatinya/mereka, kita diperhatikannya/mereka.
Padahal sebenarnya apa yang kita punya. Tidak ada yang bisa kita perbuat kalau sewaktu-waktu Yang Mempunyai Segalanya mencabut satu dari sekian banyak itu.
Apakah kematian hanya milik orang yang sehari-hari bergelut dengan risiko tinggi? Big No. Allah sudah banyak menghentikan denyut jantung manusia yang sebelumnya tampak sehat bugar. Tanpa permisi pasti. Tanpa tanya sudah siap atau belum.
Helm, kecepatan normal, bahkan lalu lintas tertib tidak menutupi kemungkinan malaikat maut mengintai seorang pengendara. Sang Maha Pengatur punya tak hingga cara yang terkadang tidak terjangkau akal manusia untuk mendatangkan kematian. Ruangan berpengatur udara, dijaga satpam terlatih, bukan penjamin selamatnya manusia dari ajal kala tiba.
Siapa yang menyangka seorang siswi akan tewas usai hukuman squat jump, yang normalnya  tidak mematikan? Apakah ada yang meramalkan kematian seorang wakil rakyat yang populer sebagai penyuka olahraga, bahkan sesaat setelah mendiang bertanding olahraga bersama kawan-kawannya? Berapa banyak orang yang terkejut mendengar pada suatu pagi sang ustadz idola telah tiada? terkejut, karena tidak ada yang menyangka.
Beruntunglah yang kematiannya datang dengan pertanda. Sakit misalnya. Sungguh, mereka jauh lebih beruntung. Allah memberikan kesempatan untuk memperbaiki diri sebelum pantas menghadap Ilahi.

gambar diambil dari sini

 
Ini pelajaran tentang ajal.
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya. QS. Al-'A`raf [7] : 34

Senin, 20 Mei 2013

Ibu. Kesekian kalinya.

gambar diambil dari putramalawi.wordpress.com
Kalau kamu mengira bisa membalas kebaikan ibumu, plis ambil ruang dan waktu khusus untuk berpikir kembali.

Cinta ibu tidak akan dapat dibayar dengan gelar sarjanamu. Apa yang kau banggakan? jerih payahmu memperoleh nilai? atau bahwa selama tiga, empat atau lima tahun kau sendiri yang memeras otak dan tenaga (mungkin) demi selesainya studi?

Ibumu tidak akan berhenti mengkhawatirkanmu, meski kau sudah punya pasangan hidup, bisa membiayainya naik haji, sudah membuatkannya rumah indah, sudah punya usaha yang akan menghidupimu hingga anak cucu.

Berhentilah membandingkan kemuliaannya dengan kelebihan yang kau berikan. Harta, gelar akademis, menantu terbaik, cucu yang sehat dan lucu, jabatan atau popularitas yang secara tidak sengaja membuatnya ikut tenar.

Siapa kamu yang lupa menghubunginya dengan alasan sibuk, bahkan membayar orang untuk menjaganya saat sakit atau lemah oleh renta usia? Malulah kau sebagai darah dagingnya tapi membiarkannya sepi menghabiskan sisa usia dalam pengawasan tetangga.