Minggu, 30 Desember 2012

Jodoh dan Bahagia


Jika laki-laki adalah angka 3 dan wanita adalah angka 2,
kombinasi matematis keduanya bisa menjadi banyak hal

kita yang memilihnya.

Penciptaan manusia adalah misteri Illahi, demikian pula penyatuan dua manusia. 
Tentang permisalan berikut ini, apa yang kalian pikirkan?
Seorang wanita cantik dari keluarga baik-baik, cerdas dan berpendidikan, menikah dengan laki-laki tampan, dari keluarga yang terpandang, mapan dan berwawasan luas. Siapa yang pertama kali akan mengatakan bahwa mereka berbahagia? Kata saya, semua yang mendengar berita pernikahan mereka.
Seorang perawan tua berusia empat puluh tujuh tahun, kaya, menikah dengan pemuda berusia dua puluh dua, baru merintis usaha. Keduanya bertemu dan bersepakat menyatu dalam kerelaan. Siapa yang pertama kali akan mengatakan mereka bahagia? Mungkin tukang rias pengantinnya saja.
Seorang pemuda, I mean, benar-benar muda. Berbekal ijazah SMP dan KTP yang baru jadi dua tahun sebelumnya, dia memberanikan diri melamar kekasihnya yang lulusan SD dan baru melalui ulang tahun ke tujuh belasnya. Mapan? sama sekali belum. Sang pemuda bahkan belum mempunyai penghasilan sendiri. Lalu siapa yang akan yakin dengan kebahagiaan mereka? boleh jadi, hanya mereka berdua.
Silih berganti di televisi, berita perpisahan orang-orang ternama. Saya, pada awalnya berpikir mereka adalah pasangan-pasangan terbaik, dan berharap akan langgeng sampai mati. Bukan tanpa alasan, jika stabilitas rumah tangga diukur dengan kemapanan suami dan kecantikan istri, maka pasangan-pasangan yang diberitakan bercerai itu adalah contoh ideal. Kabar tidak sedap mengenai pernikahan yang hancur datang pula dari keluarga yang latar belakang agamanya bagus. Padahal tadinya keluarga ini sempat menjadi ikon kebahagiaan rumah tangga dan menjadi contoh bagi masyarakat.

Terlepas bahwa kehidupan memang sarat ujian, saya kemudian menganalogikan dengan persamaan matematis. Sangat bisa didebat, toh yang saya inginkan bukan pembenaran. Jika laki-laki bernilai 3 dan wanita bernilai 2, penyatuan mereka akan menghasilkan nilai baru, dan bisa beraneka ragam. Bisa jadi sembilan, delapan, enam, lima, satu setengah, satu, duapertiga, atau....minus satu. 
Sembilan adalah gambaran hasil penyatuan yang melejitkan potensi masing-masing individu. Fungsi 'pangkat' boleh jadi adalah rasa saling memahami, melengkapi, saling mendukung dan mengingatkan, kasih sayang, dan  'saling-saling' yang lain yang membaikkan (meminjam istilah MT).
Atau bisa jadi satu setengah hingga minus satu. Maka fungsi 'bagi' dan 'kurang' bisa disamakan dengan sikap intoleransi, kurangnya perhatian, egoisme, bahkan saling menyakiti. Tiga dan Dua akan berakhir menjadi nilai yang lebih rendah dari masing-masing pada awalnya.

Tuhan tidak akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang tidak bisa kita pilih sejak lahir. Warna kulit misalnya, bentuk mata hidung bibir, termasuk kondisi di mana dan oleh siapa seseorang dilahirkan. Selebihnya, manusia memilih jalan masing-masing. Terlahir bernilai 'Tiga' atau 'Empat' atau berapapun, Tuhan lah yang memilihkan. Pun dipertemukan dengan pasangan bernilai 'Dua', 'Tiga', atau berapapun, Tuhan sudah menggariskan sejak manusia dalam kandungan.

Keberhasilan mengelola cinta, jika boleh saya menggunakan kosa kata 'bahagia', bukan tergantung pada apa yang disatukan, melainkan bagaimana keduanya disatukan. Dari ketiga contoh di atas, mulai dari pasangan ideal di mata banyak orang hingga pasangan paling absurd dalam pandangan orang, bisa saja bahagia seluruhnya, bisa juga yang paling absurd adalah yang paling bahagia. Pasangan muda dan belum punya modal apa-apa tapi berhasil mempergunakan fungsi 'pangkat' sebagaimana analogi saya, who knows suatu hari justru menjadi keluarga sukses, secara materi maupun immateri. Meskipun, menyitir pendapat Cahyadi Takariawan, bahwa bahagia itu adalah kosakata ruhani. 

Tentang jodoh dan bahagia, siapa bilang semuanya terjadi begitu saja.

Jodoh sudah dipilihkan, sedangkan bahagia, kita yang memilihnya 

Minggu, 23 Desember 2012

Meyakinkan diri





“Yakin?”
Suatu pagi, pertanyaan itu lagi.

Ketahuilah, pertanyaan itu sudah kuuji pada diri jauuuh sebelum ini. Bahkan masih terus berputar di kepala sampai diputuskan tanggal pelaksanaannya. Jika, ‘keyakinan’ adalah kesatuan yang utuh, berarti saat ini aku masih harus menemukan potongan-potongan lain agar ia sejati.

Tidak seperti hendak memilih sekolah, di manapun sekolah yang terpilihkan, paling-paling itu hanya mempengaruhi masa depan pekerjaan. Sedangkan ini, aku sedang menentukan keberhasilan hidupku di dunia dan akhirat. 

Ini bukan tentang pesta. Akhir-akhir ini orang-orang di sekelilingku justru sibuk menanyakan nanti akan memakai gaun berwarna apa, acara diadakan di mana, sudahkah berita bahagianya disebarkan, menyarankan rupa-rupa perawatan, dan banyak hal yang sesungguhnya bukan penyebab utama kegelisahan.

Beberapa menggoda dengan menceritakan seluk beluk malam pertama. Haha...ya ampun, usiaku memang baru dua puluh tiga tapi aku sudah cukup dewasa untuk mengerti bahwa pernikahan bukan hanya tentang itu saja.

Kawan, aku tidak memutuskan ini karena telah siap.

Bagaimana mungkin bisa kusiapkan diri dalam waktu beberapa bulan untuk segera menyandang peran-peran baru. Sebagai istri, sebagai menantu, sebagai ipar, bahkan insya Allah....sebagai ibu. Sampai hari ini pun mengurus diri sendiri aku belum mampu. Bagaimana aku bisa mengatakan siap, padahal hak tubuhku saja sering tak imbang dengan waktu, sibuk mencari cara aktualisasi diri sana sini, tenggelam dalam pencapaian misi hidup. Siap dari mana?

Tapi aku tidak mau mengulur waktu, karena pertanyaan akan begini sampai kapan ternyata tidak bisa kujawab. Sampai bergelar sarjana? Sampai punya rumah? Sampai cukup waktu menikmati hasil keringat sendiri? Tidak akan kubiarkan cita-cita egois melenakan kemudian memperpanjang masa tanggung jawab bapakku atas dosa-dosa yang kuperbuat. Dua puluh tiga menurut kalian masih terlalu belia? Tidak kalau beban di pundak bapakku jadi taruhannya.

Mengenai kemantapan hati, bantu aku membangunnya setelah keputusan ini dibuat. Kemantapan itu tidak akan terbangun kalau tidak ada niat. Doakan supaya dipermudah menimba ilmu dan telah telah tepat menjatuhkan pilihan. Dengan siapa? Tentang itu, biar Allah sajalah yang menggenapkan.


Karenanya, dengan mengharap keridhoan Allah,
Insya Allah kami menikah, 
Sabtu, 5 Januari 2013 dan bersiap menyambut teman dan keluarga pada 6 Januari 2013 di Tulungagung, Jawa Timur.

Doakan aku saja, jangan lagi menanyakan keyakinan hati. :)