Senin, 23 Oktober 2023

 Suatu hari seorang rekan kerja menggerutu "kenapa sih harus mengurusi negara orang (Palestina), sementara yang di Papua saja dilupakan"

Saya hanya diam. Meski geram sekali, namun saya tidak punya mood menjawab. Karena ya, percuma saja dijawab. Kawan saya sudah mempunyai persepsi. Argumen apapun yang saya sampaikan, dia bakal offense.

Pada kesempatan lainnya, seorang teman mengeluhkan guru di sekolah anaknya yang 'mempertontonkan' video kekerasan terhadap Palestina kepada anak-anak prasekolah. Baginya hal tersebut tidak pantas. Anak-anak kecil masih terlalu dini untuk dikenalkan dengan video kekerasan, terlebih dengan membawa-bawa bendera negara lain. Saya pun tidak banyak berkomentar, karena sibuk menghela napas panjang.

Oktober 2023. Kembali hatiku rasa disayat tiap kali membuka media sosial. Pembantaian, penyerangan tidak berimbang, publikasi penuh kebohongan, disajikan seperti menu restoan kapau. Tampak jelas di depan mata. Sejelas-jelasnya.

Palestina, tanah para nabi. Negeri agama samawi. Terjajah puluhan tahun. Penduduknya terusir dari tanah sendiri. Kekerasan menjadi makanan sehari-hari. Ketika tiba hari penduduknya yang tersisa hanya sedikit di Gaza strip membalas perlakuan penjajah dengan serangan roket, hujatan kaum begonis mengemuka di media.

Teroris.

Fanatis.

Aku sedih.

Silakan berperang argumen mengenai siapa yang memulai, siapa yang salah. Namun apakah tidak terbersit rasa belas kasihan menyaksikan ribuan orang meregang nyawa. Tidakkah ngeri menonton  mayat anak-anak bahkan bayi berjejer di antara reruntuhan. Tidakkah miris melihat wajah mereka yang masih selamat namun diliputi trauma.

Sudah diserang habis-habisan, diblokade pula. Air tak ada, listrik mati, bahan bakar apalagi. Tidak bisa membayangkan derita korban perang yang tidak dapat menerima bantuan. Padahal di luar Palestina, jutaan manusia mengantri ingin membantu. Apa daya upaya kemanusiaan dari penjuru dunia terhalang blokade Hizbussyaithon 

Ya Rabb, kesabaran warga Gaza strip sudah di luar nalar.

Allah sedang menunjukkan kepada dunia, ada dua golongan manusia dengan mental bukan manusia. 

Golongan pertama saking sabarnya, saking kuat imannya, bertahan dari injakan bertubi-tubi, dan masih bisa bicara dengan lantang, "Kami tidak takut kepada selain Allah". Energi makhluk mana yang sekuat itu?

Golongan kedua, sudah bego, pengecut, tidak punya rasa belas kasihan, yang penting menang perang. Adakah manusia yang sebejat itu? 

Ya Allah, makin kentara bahwa ini akhir zaman yang dinubuatkan Rasulullah. Izinkan kami berada di barisan orang-orang yang kau ridloi, meski mental kami tidak sekuat mereka, meski sabar kami belum teruji baja seperti mereka, meski ujian yang kami hadapi belum ada apa-apanya dibanding mereka.

Rabu, 22 November 2017

Mitos Bayi (2)

Cerita berlanjut tentang bayiku. Bayi laki-lakiku yang lahir pada akhir september 2017, ketika para jamaah haji sedang berada di kota Makkah untuk persiapan Wuquf.

Teman sudah berhasil gugling arti istilah "sawan" belum?
Sawan versiku, yang aku pahami dari orang-orang di sekitar, merupakan penyakit yang menimpa seseorang karena kejadian tertentu yang sifatnya mistik. Umumnya dikaitkan dengan peristiwa kelahiran dan/atau kematian manusia.

Ramai dugaan "kena sawan" sebenarnya sudah mulai diperbincangkan sanak sodara saat anak pertamaku sakit, hanya selang sehari sepulangku dari Rumah Sakit Bersalin. Sakitnya demam sampai empat hari, dan puncaknya saat malam aqiqah bayi, dia demam hingga 40 derajad dan harus dilarikan ke IGD. 
Asistenku, sibuk mencarikan bedak bayi untuk dioleskan ke kulit anak pertamaku. FYI, orang daerah kami masih banyak yang percaya, sawan atas kelahiran bayi bisa dihindarkan jika orang yang datang berkunjung mengoleskan bedak bayi ke salah satu bagian kulit, biasanya di leher.
Qadarullah si sulung tetap harus diinfus, supaya panasnya turun, dan hasil lab menunjukkan adanya peningkatan leukosit yang sangat tinggi. Jadi fungsi bedak tadi akhirnya hanya jadi semacam ritual kali ya, biar wangi seperti bayi. Kalo sakit mah sakit aja.

-------------------------------------------------------------------
Kamis, 5 Oktober 2017
Rumah kami diliputi duka saat terkirim kabar dari rumah sakit bahwa nenekku telah menghembuskan nafas terakhirnya. Nenek kesayangan kami semua.
Ba'da subuh hari ketika jenazahnya datang, aku segera memandikan bayiku, lalu kutinggalkan bersama pengasuhnya. Pecah tangisku saat berdiri di depan badan yang telah terbujur kaku, tak kuasa menatap wajahnya yang sekilas tampak seperti sedang tertidur saja. Namun tak kubiarkan sedihku berlarut-larut, saat tetangga dan saudara sudah banyak yang mulai berdatangan, aku membersihkan diri, berganti baju, untuk memegang bayiku kembali.

Semua prosesi pemulasaraan jenazah berlangsung cepat.
Aku dan bayiku hanya bisa berdiam di dalam rumah sepanjang prosesi berlangsung. Kebetulan rumahku dan rumah almrhumah berada dalam satu pekarangan. Hiruk pikuk di rumah duka hanya bisa kusaksikan dari dalam. Saat jenazah siap diberangkatkan....

Darrrrr....
bayiku menangis keras.
Sekeras kerasnya.
Menolak menyusu.
Tidak nyaman dalam posisi gendongan apapun.
Wajahnya merah padam.
suaranya melengking.
Aku panik.
Bergantian sepupuku menggendong, tetap menangis.
Semua panik tidak sanggup menenangkannya.
Beberapa saat kemudian datang dua orang tetanggaku yang sejak pagi memang sudah sibuk di dapur rumah duka, tergopoh-gopoh mendekati kami, meremas remas sesuatu sambil merapal doa dalam bahasa jawa, lalu mengoleskan sesuatu itu ke sekujur tubuh bayiku. Sesuatu yang setelahnya kuketahui adalah kembang puring itu juga diraupkan ke wajahku. Gelagapan aku dibuatnya.

lalu...
tangis bayi immediately, unexpectedly, magically, surut. Langsung kudekap, dan dia mau menyusu, hingga tertidur tak lama kemudian.

Orang-orang yang mengelilingi kami sejenak terdiam.
Sepupu yang berpikiran modern nyeletuk di tengah ketakjuban kami,
"Mungkin dia sudah capek menangis"
Mataku mengiyakan.
Kejadian tersebut makin membuat siapapun semangat membicarakan hal ikhwal penyakit sawan. Di dapur, dimana ibu-ibu berkumpul, berbagai cerita pun mengalir. Aku yang sesekali bergabung, iya iya sajalah. Semoga aku dan mereka segera mendapat pencerahan yang hakiki, bahwa tiada daya dan upaya melainkan hanya dari Rabb Semesta Alam.

Sejak hari itu, bayiku yang sejak lahir cenderung anteng, berubah sering rewel menjelang maghrib. Sering menangis tanpa jelas sebabnya apa.
Aku percaya kok, dengan adanya jin dan syaitan dan iblis, dan percaya pula dengan adanya jin qarin. Yang membuatku risih adalah kasak kusuk orang-orang disekitar yang menyarankan pelbagai ritual yang sepanjang aku ngaji baik numpang nguping di pesantren atau tabligh akbar atau di radio atau di tivi, samasekali tidak ada tuntunannya secara syariat.
takut dosa dong saya
takut dicatat syirik sama malaikat
takut aqidah tercemar

maka aku memilih mbacain ayat kursi daripada mantra nini among aki among
milih ngusapin air zam zam yang sebelumnya sudah dibacain qulhu, al falaq dan an naas daripada nyantolin gunting sama peniti di baju.

singkat cerita, 
makin kesini aku mengerti sebab bayiku sering tetiba menangis jejeritan jelang maghrib.
this baby ya...gak maaauuu mendengar berisik sedikitpun ketika dia mau berangkat tidur malam. hatta, sekedar ketokan pintu tetangga yang mengantar pesanan belanja.
pernah sekali kuajak ke mall dalam rangka menghadiri ulang tahun anak seorang kawan,
belum juga sampai di restonya, bayiku sudah mewek-mewek merah padam. Maka sepanjang acara aku dan bayiku ngumpet di nursery room, meninggalkan si sulung dengan abahnya yang mengikuti acara sampai selesai.

Wallahu a'lam bisshawab

Rabu, 11 Oktober 2017

Mitos bayi

Menjadi seorang ibu yang berlatar belakang pendidikan modern, belum tentu bisa mengalahkan kekuatan mitos di sekitarnya.

Adalah bayiku, anak kedua laki-lakiku, yang lahir normal, dengan paras rupawan, sehat lahiriah -semoga batinnya pun demikian- terpaksa harus opnam pada hari ke-11 setelah kelahirannya. Memang benar kakaknya telah lebih dulu menderita demam batuk pilek sampai harus bolak-balik dokter/rumah sakit, tapi demamnya bayiku agak aneh. Pilek tidak, batuk tidak, tau-tau panas tinggi hingga 39 derajat, menolak menyusu padaku sejak semalam sebelumnya, hingga dokter pun harus memasang selang infus agar bayiku tidak dehidrasi.
"Adek harus dirawat di ruang bayi, nanti hanya perawat yang boleh menjaganya."
mbak perawat bertutur dengan senyum termanisnya. Sejukkah bagiku? tidak samasekali. Perutku mulas, mulutku pahit, begitulah setiap kali aku panik dan sedih.
Kulepas bayiku dari balik kaca ruang perinatologi dengan mata sembab, sambil menyabar-nyabarkan hati, namun terus bertanya dalam hati, kamu kenapa le...?

Hingga hari ke tiga nakes Rumah Sakit tempat bayiku dirawat belum bisa menemukan apa penyakitnya. Tiap kali ditanya jawabnya "panasnya masih turun naik bu, masih kami observasi". Besok dokternya baru ke sini lusa bla bla bla...
Hati siapa yang tidak geram. Lelet banget ini rumahsakit. batinku.
Kutanyakan kepada si perawat, karena panasnya sudah tiga hari apa tidak sebaiknya dilakukan cek darah di laboratorium. Kebetulan yang sedang jaga adalah mbak perawat yang mungkin sedang lelahhh...
jawabannya kurang lebih begini.
Biasanya cek darah itu atas perintah dokter anak bu, dan itupun hari ke lima atau ke enam sejak demamnya muncul.
Aku melongo saja.
Ini hari ketiga lo, umunya hari ke tiga sudah dapat dilakukan cek darah untuk mengetahui sebab sakit. Apa pengetahuanku memang ketinggalan jauh? Apa aku kurang baca? Duh, kepala rasanya puyeng seketika.

Kebetulan hari ketiga itu orangtuaku pulang dari perjalanan haji. Rumahku ramai dengan kedatangan sanak famili, yang tentunya menanyakan kabar bayiku. Mendengar cerita tentang sakitnya yang belum terpecahkan, bukannya meng-encourage, malah bermunculan praduga2 berbau mitos. Dan taulah siapa yang paling banyak disalahkan. IBUNYA.

bayimu kena sawan (gugling sendiri ya apa itu sawan)
anakmu kesambet.
makanya jangan mandi malam2. padahal selama setelah melahirkan aku cuma sekali mandi habis maghrib, selebihnya ashar sudah mandi.
sampai tudingan yang ngga nyambung semacam, bayi baru lahir harusnya pakai gurita, harusnya dibedong, harusnya diolesi ini itu...
ah lelah...
ibu yang lelah...
anak pertama baru bolak balik RS, itupun sebelumnya sudah ada yang mengatakan " masnya kena sawan", tiba giliran anak kedua sakit, hal-hal semacam itu masih diributkan.

"Mungkin bayi kita kena penyakit 'ain"
kata suamiku. Nah, ini baru masuk akal. Tapi hal ini, sampai dengan tulisan ini dibuat, hanya menjadi diskusi kami berdua. Kami biarkan orang2 dengan dugaan penyakit sawannya. Nanti malah kami dikira anak muda yang sombong.
"Bisa jadi yang dimaksud sawan oleh orang2 itu adalah penyakit 'ain"
hmm...ini juga masuk akal.

Karena itulah, malam setelah diskusi itu, kami berburu mp3 player, yang akan diisi dengan murottal Alquran dan ayat2 ruqyah, untuk didekatkan di box bayi kami di ruang perinatologi.
Esoknya, yakni hari Minggu, hari di mana tidak ada dokter anak yang bisa ditemui di RS tersebut, aku mengajak bapak ibu menjenguk cucunya. Sedih memang, ketika bayiku lahir posisi mereka sedang wuquf di Arofah, sedangkan saat pulang, cuma bisa melihat dari balik kaca. Kumintakan izin kepada perawat supaya bapakku bisa masuk untuk mendoakan bayiku, membasuh wajahnya dengan air zam-zam, dengan harapan penyakitnya segera bisa diatasi, setidaknya ditemukan. Sayangnya niat menaruh mp3 player di dekat box bayi tidak diperkenankan oleh mbak perawat.
Sampai dengan minggu malam, panasnya masih naik turun, nakes masih memberikan obat penurun panas. Hatiku ciut.

Hari seninnya,
aku dan suami menyiapkan skenario, untuk memindahkan bayiku ke RS lain, jika belum juga ditemukan sakitnya. Sampai di RS, menghadap dokter anak, ternyata bayi kami sudah boleh pulang. Panasnya sudah turun, infusnya sudah dilepas. Antara terkejut dan senang, www what...diapain memangnya, batinku.
Subhanallah,
atas izin Allah pasti. dan mungkin melalui perantara doa bapakku dan air zam zam yang didoakan.

Memang serangan mitos belum berakhir, ada kejadian berikutnya yang akan kuceritakan di postingan lain. Tapi hari itu aku menjemput bayiku dengan berbunga-bunga, penuh syukur dan haru. Alhamdulillah, alhamdulillah alhamdulillaah...

Senin, 07 Desember 2015

Kereta Api Anakku

Suatu siang, setelah perjuangan menidurkan si bocah tidak membuahkan hasil:
"Äyo le, kita ke mol aja kalau ngga mau bobo'," Padahal di benakku ragu, mau ngapain ke mol.
Mbuhlah. Saya, wafy dan emak pergi juga.
Hingga motor melaju mendekati Kalibata mall, saya masih berpikir mau ngapain ke sana.

"Mak, kita naik kereta aja yuk mak," usulku tiba-tiba.
"ya terserah ibuk" 
okesip. 

Sebelumnya, hari Sabtu, saya menjanjikan Wafy naik kereta kelinci yang biasa keliling Tegal Parang sore hari. Dan saya memang tidak bermaksud berbohong. Tapi apa mau dikata, setelah lama menunggu di pertigaan dan setelah berkali-kali wafy kucegah naik delman, ketika kereta kelinci tiba, kami kalah berebut naik. See? penumpang ibu2 lebih ganas. Dan sebagai wanita, saya kurang dalam hal ini. Kemahiran intersepsi. Karena cuaca mau hujan, saya ajak wafy keliling sebentar naik motor kemudian pulang. Terlihat wajah anakku kecewa. Oh le, ibuk tidak bermaksud membohongimu.

Makanya, ketika siang itu motor kuarahkan ke stasiun Kalibata, instead of ke Kalibata mall, saya justru lebih bersemangat. and,,,so did Wafy. 
"keetaaaaa...ketaaa tungguuu ketaaaa...!!" teriaknya girang bukan main melihat komuter lalu lalang di depannya. Bocahku yang tidak sabar menanti saya memarkir sepeda motor dan mampir alfamart, terus saja berteriak tunggu-kereta-naik-kereta sampai suaranya serak.

Kami naik commuter line jurusan Jakarta Kota. Sudah terpikir rutenya di benakku. Turun di stasiun Juanda, naik bajaj ke monas, lalu pulang lagi naik kereta. Sepanjang perjalanan wafy begitu bersemangatnya berceloteh, tentang Thomas, Emilie, James, tokoh kartun dalam serial Thomas and Friend. Wafy, seperti halnya banyak anak-anak, sangat kagum dengan moda transportasi massa yang satu ini. Semuuua yang berhubungan dengan kereta api, baik lokomotif, rel, sampai pengawas stasiun begitu menarik perhatiannya. 
Belum habis exciting nya Wafy. Sampai Stasiun Juanda, kami keluar dan mendapati bajaj berjajar di tepi jalan. Waaaa, waaaa, bocahku berlarian tak sabar ingin naik bajaj. Saya dibuatnya ngos-ngosan menahan tubuh gempalnya, sementara Emak sholat ashar di mushola stasiun.

Trrrong tong tong tong....bajaj melaju. Anakku tidak mau dipegangi, Dia mau menikmati bajaj nya sendiri. haha...

Nahhh, sampailah depan monas. 
Krik krik. Wafy tidak mau turun dari gendongan. Itu artinya dia sedang tidak happy. Maybe he wanted bajaj more. Beberapa lama kami jalan di pelataran monas, sambil melihat-lihat kalau ada makanan yang bisa dibeli. 
Jujur, saya tidak kuat berlama-lama menggendong Wafy. Yasudah kita pulang aja yuk, ajakku pada akhirnya. Toh wafy sudah puas naik kereta dan bajaj. Monas enggak penting sama sekali. Iyalah, ini rekreasinya Wafy. parameter menyenangkan tidaknya sebuah perjalanan adalah dia seorang. Kami keluar berniat mencari taksi atau bajaj menuju stasiun, ketika sebuah bus tingkat melintas pelan di depan kami ketika menunggu angkutan ke stasiun. olalaa...senyumku mengembang.

ini diaaaaa CITY TOUR....
bus pariwisata keliling pusat kota Jakarta. 
Dengan kemurahan Allah, kami bisa dapat tempat duduk di atas, paling depan pula. Di bus ini tidak diperkenankan ada penumpang berdiri. Kalau tidak kebagian tempat, silakan turun dan menunggu armada selanjutnya. Rejekimu, nak. 
Heranku, wajah Wafy yang tadi murung di depan monas kembali sumringah. Bla bla bla blaaaa,,,,semua objek di luar bus menjadi sangat menarik baginya. Kami melintas di jalan thamrin, menyisir konstruksi MRT. Karena kami duduk di lantai 2 bus, pemandangan crane, eskavator, buldozer, truk, dan para pekerja konstruksi terlihat jelas. Kembali wafy berteriak-teriak Jack, jack buk...jack... PS: Jack adalah kawan Thomas, sebuah buldozer. Bus ini sangat rekomended untuk wisatawan yang ingin menikmati Jakarta. Kemudinya pelan, sehingga siapapun yang ingin mengabadikan pemandangan Jakarta bisa dengan leluasa memotret. Bus berjalan di sepanjang MH Thamrin, Medan Merdeka, Memutar ke Lapangan Banteng. 
Sayangnya kami tidak sempat berfoto. Low battery.
"Di depan turun yuk, le" 
"di bis aja.., buk" sahut wafy. Agak lama berpikir cara agar dia mau turun.
"naik kereta??" bujukku. 
Dan memang bus sudah sampai di halte tepat di seberang stasiun Juanda. Melihat sebuah rangkaian kereta melintas di atasnya, Wafy akhirnya mau turun dari bus. Alhamdulillaaah, saya pikir kami bakal pulang malam. 

Meski sederhana, we enjoyed the trip so much. Dari semua rekreasi bersama Wafy, kusimpulkan bahwa dia hanya menikmati perjalanannya saja. Hal ikhwal naik kendaraannya saja. Kereta, bis, bajaj, motor, pesawat, dia terlihat gembira ketika berada di atas kendaraan kesenangannya. 
Dan sebagai ibu ekonomis, perjalanan kemarin super hemat dibanding kalau kami jadi nge-mol. Commuter line bertiga PP hanya Rp12.000, Kalibata-Juanda. Bajaj hanya Rp20.000, ngebutnya asik. Bus city tour? hmm, gratisss. Plus plusnya ayam goreng CFC sama rotiboy, tak tahan lapar boi..

Liburan kami ditutup dengan berhujan-hujanan menjelang maghrib dalam perjalanan Kalibata-rumah.
Alhamdulillaah,...

Minggu, 29 Maret 2015

Sabtu ini: Saatnya bekam,

Bismillaah,


Akhirnya sabtu (280315) kemarin saya menyempatkan diri terapi bekam. Ini sharing ya kawan, barangkali ada yang punya kecenderungan penyakit yang sama dengan ini.

Jadi, saya punya bakat biduran, gatel bentol yang dipicu oleh hal entahlah. Loh. Iya, saya belum tau apa pemicunya. Bakat ini muncul sejak saya tinggal di Tangsel dalam rangka kuliah, berlanjut sampai sekarang. Saat itu, pas ada kesempatan liburan di kampung halaman, saya periksakan kondisi tersebut ke dokter di puskesmas kota. Apa katanyaaaa!?

"solusinya apa dok?" tanya saya lugu
"solusinya yaaa, rajin mandi." kata bu dokter tanpa melihat saya.

Note besarrrr untuk kawan2 ku yang sekarang dokter, tolong berempatilah pada pasien2 anda, daripada kami harus mengungkit ungkit di mana dulu anda kuliah kedokteran dan curiga anda mbayar mahal supaya bisa lulus padahal tidak qualified. Plis, penting banget. Kalau capek mending pulang, gak usah nerima pasien.

Baiklah lupakan bu dokter puskesmas kota. Kesempatan kedua, pas biduran kambuh lagi, saya periksa ke dokter dekat kost, di daerah Ceger, Jurangmangu. Agak lebih lega, menurut beliau, alergi saya disebabkan menurunnya imunitas tubuh. Memang kalau ditelusuri, saat tubuh sedang drop, mulai lah kulit menebal, di beberapa bagian bentol, argh, tidak enak rasanya. Saya pikir, drop nya itu disebabkan oleh alergi, rupanya sebaliknya. Saya diresepi obat penguat sistem imun.

Yang paling saya ingat, bakat alergi muncul dengan hebatnya di bulan-bulan pertama kehamilan saya. Agak beda penampakannya dengan ketika kuliah, gatalnya luar biasa dan tidak bentol, melainkan bercak merah pada kulit, seperti bekas terbakar. Saking hebohnya saya garuk, sampai lecet-lecet betis dan lengan. Sayangnya bulan-bulan pertama tersebut merupakan masa asupan gizi saya minimal, karena sindrom mual muntah. Jadilah saya bersabar saja, semoga bisa sembuh sendiri,
Sembuh memang, setelah bayi kami lahir. Haha. nangis. lama ya.

Nah, minggu lalu, biduran itu muncul lagi. Pertama karena flu, kedua karena suatu acara yang membuat maag saya kambuh lumayan parah. Tidak usah diceritakan lah acara apa itu. Perut sakit karena terperangkapnya gas lambung, mual, pusing lemas, dan...gatal badan ini. Sempurna. Suami saya pun berinisiatif mengantarkan saya ke tempat bekam, masih teman sendiri, di daerah Kemang, Jakarta Selatan.

Singkat cerita, menurut terapis bekam, kunci utama kesembuhan alergi semacam ini adalah asupan vitamin C, which is penting sekali dalam menjaga daya tahan tubuh. Darah kotor juga bisa berawal dari paru paru kotor, nah ini, kebiasaan berkendara di jalan raya tanpa memakai masker mungkin salah satu sebabnya, Tingkat stress makin memperbesar potensi alergi kambuh lagi. Kelihatan otot sekitar tulang leher saya kaku. Saya memang lebih suka diam dan menahan marah untuk menjaga perasaan orang lain. Pada beberapa hal, cara berpikir saya harus diperbaiki. Keeeeppp positive thinking. itu aja lo padahal. Selesai dibekam, terapis menyediakan madu dan habbatussauda untuk saya minum. Tiga kapsul sekaligus. Feel better. 

Alhamdulillah, 
meski sabtu-minggu ini tidak bisa puas bermain bersama anak, tapi Allah memberikan waktu istirahat yang sangat panjang. Qadarullah tahsin diliburkan. Senin ini, meski masih agak mual (efek maag kambuh bertahan agak lama), saya berani ke kantor bersepeda motor lagi.

Have a wonderful week kawan, keep positive thinking.

Jumat, 16 Mei 2014

Wal Yatalatthof

gambar: koleksi pribadi
Kawan, pernah nggak baca Mushaf Alquran cetakan lama, cetakan Indonesia, yang hurufnya keriting, yang pada awal juz font baris pertama underlined? Sayang saya gak punya fotonya. Kalau sudah ketemu kapan2 saya edit ya tulisan ini.
Uniknya mushaf tersebut, ada tanda merah pada border halaman mulai ayat ke lima belasan surah Al Kahfi. Merahnya diperjelas lagi dengan font tebal pada kata "Wal Yatalatthof".

Jadi begini, ada beberapa cerita masa kecil kami (saya dan kakak).
Saat itu saya masih lugu. Abang saya cerita, tentang sejarah tanda merah itu. Saya mendengarkan dengan sepenuhnya, sekaligus mempercayai sepenuhnya.

Dulu kala, ada seorang prajurit yang sedang membaca Al Quran. Ketika sampai pada ayat 19 pada lafadz "Wal Yatalatthof" dia ditusuk dari belakang dengan pedang. Jleppppp.... (begitu Abang saya mengilustrasikan). Muncratlah darah akibat tusukan pedang tersebut membasahi Mushaf yang sedang dia baca tepat pada lafadz "Wal Yatalatthof". Wal yatalatthof jleppp...

Saya benar-benar mempercayai sejarah itu sampai saya lumayan besar lo...dan sejauh yang saya ketahui, sejarah itu dikarang-karang saja sama Abang. Font merah pada lafadz tersebut hanya sebagai tanda pertengahan Alquran. (cek disini--- http://www.konsultasisyariah.com/mengapa-kalimat-walyatalaththof-dalam-alquran-berwarna-merah)
Ilustrasi 'jlepp' pun sering saya ulang-ulang kalau kebetulan membaca ayat ini. Maklum, anak kecil. :))

Selain cerita karangan abang, ada banyak cerita yang dicekokkan orang-orang dewasa kepada anak-anak semasa saya kecil. Bahwa kalau kita menelan biji semangka suatu hari dari kepala kita akan tumbuh pohon semangka, bahwa semburat merah di langit pada petang hari adalah buto (raksasa) yang akan memakan anak-anak, bahwa kalau makan sambil tiduran nanti bisa menjelma jadi ular, dan lain lain...macam-macam.
Kalau saya bilang sih, beberapa dari cerita tersebut merupakan cara orang-orang tua zaman dulu mencegah anak-anak mereka berbuat hal-hal yang tidak terpuji, cara jitu mengarahkan akhlaq. Minimnya informasi justru membuat nilai-nilai yang ditanamkan via cerita fiktif dan ngarang abis itu perfectly internalized. Apa coba sumber pengetahuan anak kecil jaman saya? televisi? wong sampai saya SD kami masih pakai petromaks sebagai penerangan malam hari. Majalah? saya (yang notabene alhamdulillah paling maju bacaannya dibanding bacaan anak-anak tetangga) cuma punya koleksi Bobo dan majalah memasak ibuk. Apalagi internet....ini serius, saya baru bisa menyalakan komputer saat duduk di bangku kelas dua SMP.

Saya bukan bermaksud mencap metode parenting kala itu keliru, tidak. Buktinya 'produk' yang dilahirkan dan besar pada zaman pra internet relatif lebih berakhlaq daripada anak zaman sekarang. Maaf ya internet...harus saya bikin jadi kambing hitam kamu.

Menurut psikolog, yakni orang-orang yang lebih pintar dari saya dalam masalah beginian, usia 0-2 tahun merupakan periode emas anak. Stimulus yang diberikan pada masa itu berperan penting dalam membentuk intelegensia. Sigmun Freud malah bilang kalau masa itu berlangsung sampai dengan usia lima tahun.
Makin oke stimulus kecerdasan yang diberikan orang tua kepada anaknya, makin baik perkembangan intelegensianya. Stimulus kecerdasan ini bukan melulu soal IQ, namun juga EQ dan SQ. Tentang istilah  'kyu kyu-an' ini silakan gugling ya kawan.

Jika orangtua berharap anaknya pinter matematika, bagusnya sering kasih mereka permainan yang merangsang otak kirinya bekerja. Misal "nak, ini ibu lagi nyuci sepuluh buah piring, tiap habis dicuci piringnya kamu yang bilas, kalau ibu selesai nyuci separuh, berarti berapa buah piring yang harus kamu bilas?" atau yang lebih ekstrim ketika seorang bapak sedang bersiap menendang bola, dia berteriak ke anaknya yang sedang menjaga gawang, "nak kira-kira berapa derajat sudut tendangan yang harus bapak bikin supaya dia nyasar tepat di tengah gawang?".
Tentu, banyak lagi yang lebih pintar dari saya untuk masalah ini. Hohoo...

Kembali ke wal yatalatthof,
kisah atau dongeng anak saat ini mungkin dianggap ketinggalan jaman. Orangtua masakini lebih memilih memasukkan anak-anak ke kelompok bermain sejak usia sangat dini. Lalu di rumah mereka difasilitasi dengan mainan-mainan edukatif, televisi kabel yang menayangkan tontonan berbahasa asing, macam-macam lah pokoknya...tapi melupakan cara tradisonal yang harus melibatkan komunikasi intim orangtua/orang dewasa pada anak, face to face, dua arah, dan frekuensi yang berulang. Yakni, bercerita.

Kalau kisah karangan abang tentang sejarah merahnya font wal yatalathof saja bisa merasuk ke dalam pikiran masa kecil saya, kenapa tidak, orangtua atau orang dewasa menciptakan kisah-kisah yang membangun jiwa. Dengan bercerita, kita bisa melihat ekspresi mereka, terkejut, takut, kagum, bosan. Dengan bercerita kita juga bisa melihat langsung respon mereka, ngulet pengen pergi atau pertanyaan-pertanyaan lugu tak berujung. Khusus untuk yang terakhir, ada lo orang-orang berusia tua (saya emoh menyebut orang tipe ini dengan kata 'dewasa') yang benci dengan anak-anak cerewet. Nah dalam rangka menghindari kecerewetan anak, mereka memilih untuk menyediakan saja fasilitas yang tidak memungkinkan komunikasi dua arah. Tayangan di televisi atau video misalnya.
Padahal...Cerewetnya anak adalah dalam rangka ingin tahu, meski terkadang pertanyaan mereka aneh dan tidak berujung.

*Bercerita tentang kancil*
Kancil itu apa?
binatang berkaki empat dek...bentuknya kayak rusa
rusa itu apa?
rusa itu yang punya tanduk dek
tanduknya mana?
itu dek, yang di kepala melengkung melengkung
buat apa?
Buat pertahanan daris serangan musuh dek,

(diam sesaat, si kecil bingung mengeja kata per-ta-ha-nan, lalu melontarkan pertanyaan tidak nyambung)

makannya apa?
kancil punya mama nggak?
Kok kancil nggak pake baju?
Kancil mandinya dimana?
dan seterusnya dan seterusnya...

Tidak ada larangan kok mengarang cerita fiktif. Toh anak akan percaya apapun yang dia dengar dengan takzim. Anak tidak terlahir langsung tahu cerita kancil nyolong timun kok, jadi jangan khawatir dianggap penipu kalau kita mengarang cerita kancil sedekah timun. (Untuk ide ini, saya beruntung punya Abu Wafy :-*)
Dan kebiasaan sedekahnya si Kancil yang diulang-ulang akan perlahan membentuk pribadi si anak. Apalagi jika interaksi anak dengan teknologi informasi dikontrol bener-bener. Nanti ketika dia dewasa dan tidak sengaja menemukan kisah Kancil Mencuri Timun di buku, dia akan punya alarm tolak tersendiri, dan pastikan kita bersedia melayani pertanyaan mereka kenapa kancil mencuri.

Mengajari anak seperti menulis di atas batu,
Jadi, pastikanlah bahwa kebaikan saja yang terukir di dada anak-anakmu.





Senin, 12 Agustus 2013

Post Ramadhan: Kurma




Sabtu pagi, lebaran ke tiga, kami sudah sampai di Jakarta. Pintu terbuka, salam teruluk kepada para 'penjaga' kontrakan selama seminggu kami pulang kampung. Alhamdulillaaaah....aku menghela napas panjang. Pandanganku mengitari segala sudut ruangan.

Sekotak kurma ajwa' yang selama ramadhan kemarin menjadi andalan takjil, tergeletak di karpet. Isinya tinggal seperempat penuh. Ada perasaan ganjil di satu ruang jiwa.

Duhai, 
kenapa selalu sesal yang melepas Ramadhanku setiap tahun,

Apakah yang tersisa darinya?
Akhlakku begini-begini saja,
Al Quran kupegang sekedarnya saja,
 di sela canda tawa bersama kerabat yang lama tak berjumpa

Duhai,
Khusyu' malam-malam ramadhanku cepat sekali berganti
idul fitri, begitu dalihku, sibuk anjangsana,
Disiplin sholat malam ramadhanku, kalah lagi oleh capek perkara duniawi,
Aku jadi lebih antusias memilih pakaian untuk silaturrahiim,
daripada memutar radio dan memilih channel pengajian
 

Apakah yang terisa dari ramadhanku?

Diceritakan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, ”... Sungguh celaka seseorang yang mendapat bulan Ramadan, dan ia pun keluar (dari bulan suci tersebut) sementara dosanya masih belum diampuni oleh Allah SWT. Dan sungguh celaka seseorang yang masih memiliki orangtua renta tapi posisi tersebut tidak membuatnya masuk surga. (HR Tirmidzi)
Duhai, akukah salah satu yang tersebut dalam sabda Nabi itu?

Kuambil sebutir kurma, kucicip lagi manisnya, sambil membayangkan terakhir aku pulang kerja masih menemui keramaian pasar dadakan jelang berbuka di jalan pancoran barat. Puji-pujian dan sholawat bersahut dari corong mushola dimana-mana.

Inilah, yang tersisa dari Ramadhanku tahun ini. sekotak kurma.