Minggu, 27 Mei 2012

Menyangsikan Pagi


Sore yang terik. Adzan ashar padahal sudah satu setengah jam berlalu. Bu Ida masih sibuk dengan Huda. Sungguh mengajari anak satu itu perlu kesabaran ekstra.

"naa shi ba huu..." tuntun bu Ida.

"na shii..baa.." Huda berpeluh.

bu Ida menggeser posisi duduknya, lebih dekat kepada bocah itu. "naa, panjang Le, dua ketukan. Naa,... "
"naa shii baa huu" suara Huda menggetar. lengkap, semua jadi mad.

perjuangan Huda telah berlangsung limabelas menitan, namun dia masih berkutat dengan panjang pendek huruf nun pada baris ketiga.

di belakang Huda, teman-teman sebayanya yang belum mendapat giliran baca tampak gelisah. Cuaca sepanas itu tidak memungkinkan mereka menunggu sambil bermain di halaman langgar. Jadilah buku iqra' dipakai kipas-kipas. bukan hanya seorang, aksi kipas-kipas dengan buku iqra' terjadi berjamaah. menggelikan.

"panjang pendeknya Le, shad nya pendek, dilihat harakatnya ini lo..." terang bu Ida kembali.
dengan segala daya, "Naa, shi ba huu...", akhirnya Huda berhasil melafalkan sepotong kalimat dengan benar. Jamaah kipas-kipas menghela napas lega, meski harapan bahwa Huda bisa menyelesaikan baris keempat dan kelimanya harus dikemas dengan sabar. Kasak-kusuk mulai terdengar di belakang, ada yang terkekeh melihat Huda, ada yang garuk-garuk tidak punya ide mau menunggu dengan gaya apa.

Bagi bu Ida, Huda adalah tipe anak yang akan selalu ada dalam generasi santri ngaji dimanapun dan kapanpun. Adalah Lik Busro, yang tidak lain adalah paman Huda, dulunya mendapat sebutan anak setan dari para tetangga. Nakal bukan main, ngaji pun bebal bukan main. ketika teman-teman seusianya sudah iqra' enam menjelang Al Quran, Lik Busro pede dengan iqra' duanya. Ketika guru ngaji lain sudah angkat tangan dengan perangai Lik Busro, Bu Ida mencoba bersabar. selalu kata beliau, "batu sekeras apapun, kalau ditetesi air lama-lama berlubang juga." wa Subhanallah, siapa sangka siapa nyana, Lik Busro sekarang menjadi modin di usianya yang baru tigapuluh, selulusnya dari pesantren di Jombang.

Kupandangi sekumpulan anak-anak itu. Sore ini hanya sembilan orang yang mengaji di langgar. Suci, keponakanku, menjadi pendatang baru. Sejak dhuhur dia sudah mandi, merengek minta diantar ke langgar untuk mengaji. Teringat ketika seumuran Suci aku dan teman-teman sebayaku sering ramai-ramai berlarian ke langgar jika adzan ashar berkumandang. Setiap lewat rumah seorang teman, kami meneriakkan kode “Ji !!” singkatan dari ‘ngaji’, sebagai ajakan untuk bersiap jamaah ashar kemudian mengaji. Teman yang sudah siap akan menyahut “Ji !!” pula. Maka ramailah sore kampung kami dengan Ja Ji Ja Ji sana sini dan suara kecipak sandal jepit massal.

Aku tersenyum sendiri mengenang kebiasaan tujuh belas tahun yang lalu itu.

Langgarlah yang menjadi saksi pergantian generasi di kampung kami. Ketika bu Ida baru pindah ke kampung ini, langgar kala itu menjadi pusat kegiatan keagamaan masyarakat. Langgar yang utamanya merupakan tempat shalat jamaah lima waktu, kadang dimanfaatkan untuk menginap para pemuda kampung yang malas pulang ke rumah usai ngaji kitab atau meronda, selain juga menjadi tempat ibu-ibu rutinan yasin tahlil dan anak-anak belajar iqra'. Dengan semangat mudanya waktu itu, bu Ida ikut turun tangan, mengajar iqra' anak-anak kampung. Generasi TPA berganti tiap dua tahun sekali. Jika dihitung, anak yang mulai di-TPA-kan rata-rata berumur lima tahun. Selesai iqra' enam yang biasanya ditempuh selama setengah tahun, santri melanjutkan Al Quran hingga khatam tiga puluh juz. Jika orang tua sadar agama, anak-anaknya yang telah khatam Al Quran akan diarahkan untuk melanjutkan pendidikan agama di Madrasah Diniyyah terdekat. Kelulusan santri TPA bukan berarti tugas guru TPA selesai, karena ada anak-anak generasi baru yang menunggu ditempa.

Aku masih menunggu di teras ketika anak-anak berhamburan keluar langgar. Sebagian masih antri mencium tangan Bu Ida, termasuk Suci. Tubuhnya yang hanya tiga perempat tinggi kawan-kawannya yang lain membuatnya kesulitan mencapai tangan Bu Ida. Terdesak melulu ke belakang.

“baarakallah..” Bu Ida mengusap-usap kepala Suci sambil menggandeng tangannya menuju aku.

Segera kucium tangan beliau, “Marwah bu,” ujarku mengingatkan. Bu Ida mengernyitkan dahi sejenak menatapku, kemudian, “Marwah sulungnya Pak Sunari?” Aku mengangguk.

“Ya Allah, pangling ibuk, kapan datang?” sambut Bu Ida renyah.

Obrolan pun berlanjut sembari berjalan pulang. Sesekali Langkah Bu Ida terhenti, penyakit pengapuran tulang yang diderita membuat gerak beliau tidak seaktif dulu. Namun demikian, Bu Ida kelihatan bersemangat mendengar ceritaku tentang Jogja, kota yang menahanku selama lima tahun ini. Terkadang beliau merespon dengan helaan khasnya, tertawa lirih, hingga menepuk-nepuk kepala belakangku, seperti yang biasa beliau lakukan dulu, ketika aku masih santri iqra’ Bu Ida. Sambil berkali-kali menarik lengan Suci yang mulai meloncat-loncat tidak stabil di jalan, aku bercerita tentang prestasi-prestasiku selama kuliah, hingga berhasil meraih beasiswa strata dua di kampus yang sama. Dari balik kacamata Bu Ida, kulihat binar matanya, takjub seolah baru mendengar cerita seperti itu seumur hidupnya. Bu Ida mungkin tidak pernah mengenyam pendidikan formal setelah lulus SD, anaknya pun hanya bersekolah sampai SMP, kemudian bekerja membantu suami Bu Ida di sawah.

Air muka Bu Ida yang ceria seketika berubah sendu saat kusinggung mengenai sedikitnya santri yang tadi hadir di langgar.

“Anak-anak di kampung ini lebih memilih les ketimbang ngaji.” Aku mendengarkan takzim. “ya bagaimana, sekarang sekolah-sekolah kan sudah ples ples. Ada ngajinya sekalian. Ibuk senang kalau pendidikan agama sudah dipentingkan. Tapi ibuk heran kok akhlak anak-anak yang sekolah sampai sore, les di mana-mana, ada yang sampai manggil guru ke rumah, kok ndak tambah baik.” Bu Ida berhenti sejenak, meraba-raba lututnya. Tertawa kecil. “Maklum, produk lama, mulai karatan,...”

Aku merasakan kegetiran dalam tawanya. Suci kusuruh pulang duluan, sementara aku singgah di rumah Bu Ida.

“Dulu ibuk berharap Marwah atau Rizal bisa bantu-bantu ngajar.” Aku menunduk. Rizal, anak cerdas itu, sekarang di Jakarta, mengejar sarjananya. Kami memang sering menjadi contoh untuk santri lain, dikarenakan kemampuan kami menyerap ilmu dengan cepat. Bu Ida memandang nanar ke arah jalan.
“Kayam, anak ibuk satu-satunya ikut suaminya ke Bangil. Wahyudi merantau ke Brunei, adiknya Ahmad sekalian. Busro sama Malik sudah jadi modin dan carik di kampung sebelah. Selain itu... “ bu Ida mendesah. Ada kepahitan dalam kalimatnya. “...anak-anak muda kampung ini sekarang lebih suka jogrogan di kafe. Atau kalau tidak begitu ya sibuk dengan pekerjaan atau sekolahnya.”

Candekolo, nyala merah yang menoreh di langit barat nampak seram. Angin kering sisa hari yang luarbiasa panas mendesau-desau. Seperti buru-buru sembunyi dari petang. Hatiku kian teremas-remas oleh penuturan Bu Ida.

“Ibuk ndak mau melihat Al Quran ditinggalkan sama anak-anak. Meski sedikit, Ibuk ndak papa. Kalau nanti di akhirat ditanya sama Gusti Allah ‘kenapa kampung ini rusak’, semoga Ibuk bukan termasuk orang yang disalahkan. Ibuk bisa ngaji, paling tidak a ba ta, ya sudah menjadi kewajiban untuk mengajarkan kepada orang lain. Alhamdulillah, Gusti Allah masih memberi sehat sama ibuk.” Bu Ida tersenyum sambil menepuk dadanya, berusaha menciptakan image kuat. Aku berusaha tersenyum. Bagaimanalah mataku bisa ditipu oleh gerak langkah kaki Bu Ida dalam perjalanan pulang tadi. Ibuku bilang, penyakit Bu Ida sering membuat beliau tidak bisa berjalan. Pernah karena sudah hampir sepekan Bu Ida istirahat karena penyakitnya, anak-anak libur mengaji. Tidak mau melihat anak-anak terlantar, Bu Ida pun memutuskan untuk mengundang anak-anak mengaji di rumahnya. Saat itu ibuku yang kebetulan sedang menjenguk beliau tidak bisa menahan tangis melihat betapa sulitnya Bu Ida berpindah dari kasur ke lantai, agar bisa menyimak bacaan anak-anak dengan nyaman.

Demi menahan lelehan airmata, kualihkan sebentar pembicaraan Bu Ida. “Anaknya Yu Kayam sudah berapa, Bu?”

Bu Ida menyahut antusias. “dua, yang besar sudah masuk TK. Sudah segininya ibuk.” Memberi isyarat pada bahunya. “haha, anak jaman sekarang cepet besar. Ibuk nanti bisa kalah tinggi lama-lama. Nah yang kecil baru terantanan. Ilham dan Adin namanya. Si Ilham juga sudah lancar mengajinya.”

“Alhamdulillaah,” responku singkat. Hatiku rupanya belum tertata untuk beralih ke topik lain. Kulempar pandangan ke jalan.

“Nduk,” sambung Bu Ida memecah kebisuan, “kalau anak-anak pintar seperti Marwah ini dan Rizal pada pindah semua ke kota, yang di kampung tinggal pemuda yang miskin ilmu, tidak mau bekerja, sukanya hura-hura. Tapi bukan salah siapa-siapa ya, kalian memang harus bersekolah sampai tinggi. Dan sekolah itu cuma bisa didapat di kota besar.” Bu Ida tertawa lagi. Entahlah, seolah berusaha meyakinkanku bahwa beliau baik-baik saja.

“Ibuk bukannya benci dengan anak muda, tapi gimana, kenyataannya begitu. Kang Sunar suaranya sudah klerak-klerek, tapi tidak ada yang lebih muda yang punya kesadaran menggantikannya jadi muadzin. Jamaah magrib sama subuh tinggal sebaris, tua-tua lagi. Ibuk sedih, sering pas pulang dari magrib di langgar disalip rombongan anak muda naik sepeda motor, rame-rame ndak tau mau kemana. Nah rombongan tadi baru ibuk lihat lagi sebelum subuh, pas ibuk sama bapak siap-siap ke langgar. Sering itu, ndak cuma satu dua kali. Coba nduk Marwah lihat, sekarang rame berdiri kafe-kafe kan? Itu isinya pemuda-pemuda kampung semua. Pada karaokean, gitaran, bersenang-senang. Mereka ndak mikir selain yang buat mereka senang. Boro-boro mikirin ummat.” Bu Ida menebah dada. “Duh Gusti...jangan-jangan kami orang-orang tua ini yang salah mendidik anak-anak kami, sehingga rusak begitu.”

Binar mata Bu Ida benar-benar redup sekarang. Beliau menunduk dalam, seperti menahan sesuatu yang bergolak.

 “Nanti kalau ibuk diambil Gusti Allah, siapa ya yang menggantikan ngajar anak-anak ngaji...?” Sampai pada bagian ini, airmataku tidak tertahan lagi.

Adzan maghrib berkumandang. Ya, suara Mbah Sunar yang klerak-klerek itu mengalun melangit petang. Menghalau kawanan burung kembali ke sarang. Merangkum hangat sore jelang malam.

Aku melangkah cepat dengan perasaan kacau. Kampung tempat lahirku, besarku. Kutinggalkan. Apa yang kukejar di Jogja, jika kampungku sendiri tertinggal mengemis harapan? Di Jogja aku terlibat berbagai program pengembangan ummat melalui gerakan-gerakan mahasiswa. Di mataku, pemuda Indonesia sudah mulai banyak memikirkan masa depan bangsa dan agama. Kritis terhadap kebijakan pemerintah, aktif dalam banyak kegiatan sosial. Pemuda yang mana? Aku terlena. Yang demikian adalah sekian kecil persen dari kenyataan kaum muda terpelajar di negeri ini belum menjadi mayoritas. Selebihnya barangkali bernasib sama dengan yang ada di kampungku. Di mana tanggungjawabku sebagai orang yang dikaruniai kesempatan belajar lebih banyak, otak lebih pintar, serta harta lebih ada dari teman-temanku yang lain?

Kalau nanti di akhirat ditanya sama Gusti Allah ‘kenapa kampung ini rusak’, semoga Ibuk bukan termasuk orang yang disalahkan.”

Bukan Bu Ida tentu. Bukan.

Al Quran Surah At Taubah ayat 122 menggaung sepanjang malam dalam benakku,
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.