Senin, 23 Oktober 2023

 Suatu hari seorang rekan kerja menggerutu "kenapa sih harus mengurusi negara orang (Palestina), sementara yang di Papua saja dilupakan"

Saya hanya diam. Meski geram sekali, namun saya tidak punya mood menjawab. Karena ya, percuma saja dijawab. Kawan saya sudah mempunyai persepsi. Argumen apapun yang saya sampaikan, dia bakal offense.

Pada kesempatan lainnya, seorang teman mengeluhkan guru di sekolah anaknya yang 'mempertontonkan' video kekerasan terhadap Palestina kepada anak-anak prasekolah. Baginya hal tersebut tidak pantas. Anak-anak kecil masih terlalu dini untuk dikenalkan dengan video kekerasan, terlebih dengan membawa-bawa bendera negara lain. Saya pun tidak banyak berkomentar, karena sibuk menghela napas panjang.

Oktober 2023. Kembali hatiku rasa disayat tiap kali membuka media sosial. Pembantaian, penyerangan tidak berimbang, publikasi penuh kebohongan, disajikan seperti menu restoan kapau. Tampak jelas di depan mata. Sejelas-jelasnya.

Palestina, tanah para nabi. Negeri agama samawi. Terjajah puluhan tahun. Penduduknya terusir dari tanah sendiri. Kekerasan menjadi makanan sehari-hari. Ketika tiba hari penduduknya yang tersisa hanya sedikit di Gaza strip membalas perlakuan penjajah dengan serangan roket, hujatan kaum begonis mengemuka di media.

Teroris.

Fanatis.

Aku sedih.

Silakan berperang argumen mengenai siapa yang memulai, siapa yang salah. Namun apakah tidak terbersit rasa belas kasihan menyaksikan ribuan orang meregang nyawa. Tidakkah ngeri menonton  mayat anak-anak bahkan bayi berjejer di antara reruntuhan. Tidakkah miris melihat wajah mereka yang masih selamat namun diliputi trauma.

Sudah diserang habis-habisan, diblokade pula. Air tak ada, listrik mati, bahan bakar apalagi. Tidak bisa membayangkan derita korban perang yang tidak dapat menerima bantuan. Padahal di luar Palestina, jutaan manusia mengantri ingin membantu. Apa daya upaya kemanusiaan dari penjuru dunia terhalang blokade Hizbussyaithon 

Ya Rabb, kesabaran warga Gaza strip sudah di luar nalar.

Allah sedang menunjukkan kepada dunia, ada dua golongan manusia dengan mental bukan manusia. 

Golongan pertama saking sabarnya, saking kuat imannya, bertahan dari injakan bertubi-tubi, dan masih bisa bicara dengan lantang, "Kami tidak takut kepada selain Allah". Energi makhluk mana yang sekuat itu?

Golongan kedua, sudah bego, pengecut, tidak punya rasa belas kasihan, yang penting menang perang. Adakah manusia yang sebejat itu? 

Ya Allah, makin kentara bahwa ini akhir zaman yang dinubuatkan Rasulullah. Izinkan kami berada di barisan orang-orang yang kau ridloi, meski mental kami tidak sekuat mereka, meski sabar kami belum teruji baja seperti mereka, meski ujian yang kami hadapi belum ada apa-apanya dibanding mereka.