Minggu, 18 Desember 2011

M O T H E R super M O M


Pagi, Januari kesembilan belas. Tiga bulan setelah Benazir Bhutto dilantik sebagai perdana menteri Pakistan, aku melengkapi keluarga ini menjadi bilangan lima. Dia, bapakku, dan dua anak yang mendahului lahir dari rahimnya.


Pagi, tahun ke empat.
Seorang berkacamata berbincang dengannya di ruang tamu. Sebagai balita, aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Yang jelas, sejak hari itu, dia selalu berangkat pagi memakai baju PDH bersama bapak, dan pulang hampir sore. Aku kehilangan teman bermain, tinggallah nenek yang menemani. Sejak hari itu, aku menunggunya sempat menidurkanku. Aku hanya menginginkannya, bukan nenek yang membujukku tidur dengan dongeng-dongengnya.


Pagi, tahun ke enam
Aku kecil berlari menggendong tas, melipir jalan raya. Itu adalah hari pertamaku masuk TK. semua antusias dengan hari itu, begitupun aku. Sesaat setelah aku sampai, dua orang berseragam PDH memasuki halaman TK mengendarai sepeda motor, itu dia dan bapakku. Aku kecil tidak ambil pusing, tapi kini aku ingat dan menyadari, bahwa dia dan bapakku sejurus kemudian berlalu, berangkat ke tempat kerja. Dan aku menjadi satu-satunya siswa yang tidak didampingi orang tua pada hari pertama.
Hari-hari kemudian tidak jauh berbeda,  selalu berangkat sendiri, dan pulang sendiri. Pernah suatu hari aku mengeluh, kenapa yang lain selalu dijemput sepulang sekolah, sementara aku harus pulang sendiri berjalan kaki. Esoknya, ketika aku sampai separuh perjalanan pulang, aku bertemu dengannya. Melihatku, dia segera turun dari sepeda, menaikkanku pada sadel belakang, membawa serta aku pulang.


Pagi, tahun ke enam.
Dia dipanggil konferensi di Jakarta. Empat atau lima hari, entahlah aku lupa. Aku tidak begitu dekat dengan bapak, dan karena itulah aku merasa sepi tanpanya. Setiap hari aku menanyakan keadaannya pada bapak, dan selalu dijawab seadanya. Hari ke tiga, ketika dia menelepon, bapak melaporkan kondisi rumah kepadanya, termasuk aku. Kakiku bernanah, dan itu sakit.
Keesokan hari sepulang sekolah, ada setumpukan travel bag di depan kamar. Aku bersorak. Dia izin pulang dari konferensi karena aku sakit, sakit kaki.


Maghrib, tahun ke tujuh
Dia dan kakak laki-lakiku sedang duduk di sofa depan sementara aku di make up. Sejam kemudian, aku menari di atas panggung, dia menungguiku hingga selesai.


Malam, tahun ke sepuluh
Suasana ramai, di sekitarku sudah banyak pengunjung. Tenda tampatku bermalam sejak sehari sebelumnya terasa sesak. Melalui penerangan seadanya, mataku mengitari setiap sudut lapangan, mencari sesuatu. Malam itu semua peserta gladian pemimpin regu pramuka boleh menerima kunjungan dari sanak saudara. Teman2 sereguku sudah saling melepas rindu dengan ayah ibu mereka. Aku masih mencari, meski tahu tidak akan menemukannya.
"Ki.." sapa suara dari balik pagar
Aku menoleh. Hampir senang. Rupanya Bulik dan sepupuku yang sedang berdiri di sana, menyodorkanku seiris semangka. Mereka mengunjungiku, mewakilinya, karena dia sedang dinas ke luar kota. Aku mengucapkan terimakasih sebelum mereka pulang. Sepeninggal bulik, dan sepeninggal pengunjung-pengunjung lain, aku duduk menghadap pagar, di luar tenda, meneteskan air mata.


Pagi, tahun ke dua belas
Dia dan bapak menjemputku. Wajahnya tidak ramah seperti biasa. Sepanjang jalan di bis hingga seharian di rumah, aku tidak diajak bicara semestinya. Dia kecewa. Keinginannya agar aku bisa mengikuti program mondok selama bulan Ramadhan tidak terwujud. Selama di pondok, aku sering menangis di kamar, menyendiri di anak tangga, hingga lebih memilih malas melakukan apa-apa, padahal aku bersama kakak perempuanku. Mendengar pengaduan kakakku itulah, pada hari ke empat aku memaksa pulang.


Malam, tahun ke dua belas
Kuletakkan sendokku begitu saja, tiba-tiba selera makanku hilang, padahal nasi masih beberapa suap kumakan. Dia baru saja memberitahu bahwa pekan depan setelah saat itu dia akan dioperasi rahim. Dua pekan setelahnya lagi, rumahku ramai oleh tetangga yang ingin mengetahui kondisinya, yang sudah hampir sehat.


Malam-malam tahun ke lima belas
Dia sering merintih kesakitan. Bapakku sudah berusaha sana sini agar sakitnya hilang. Aku sering bersembunyi di balik pintu karena tidak tega melihatnya menahan sakit sedemikian hebat. Beberapa pekan kemudian, rumahku kembali ramai oleh orang yang ingin berkunjung mengetahui kondisi ibuku yang sudah hampir sehat, sama seperti dulu kecuali bahwa dia sudah tidak lagi memiliki rahim.


Malam tahun ke enam belas
Melalui ponsel teman, dia sering menghubungiku. Mengirimkan doa-doa. Ketika dua hari kemudian aku pulang membawa berita bahwa aku harus kembali ke Malang untuk babak final, dia pun bercerita.
"Baru tiga hari sampean gak ada, kami sudah seperti orang bingung. Ke sana ke sini ketemunya orang berdua saja. Gimanaa nanti kalau sampean sudah kuliah..." katanya. Bapak mengiyakan tanpa melihatku. Mata bapak menerawang ke arah televisi, tapi aku tahu bahwa pikirannya sedang tidak ada di situ.

Baiklah kawan, perkenalkan, ibuku.
Tidak begitu pandai memasak, namun ajaib, lewat suapan jemarinya, nasi terasa lebih istimewa.
Koleksi jilbab dan tasnya banyak. Ketika aku atau kakak perempuanku kembali ke perantauan masing-masing, koleksinya akan berkurang.
Tidak begitu hobi belanja.
Jiwanya mengajar dan mendidik.
Tidak tegaan.
Cantik, setidaknya di mataku.

Dialah ibuku,
Yang suaranya kunantikan tiap akhir pekan.
Yang kemarahannya sering benar2 jadi musibah, dan restunya menjadi anugerah.

Dialah ibuku,
yang menunda menabung untuk naik haji hingga anak-anaknya lulus kuliah.
yang makan malam paling akhir, setelah yang lain makan.

Dialah ibuku,
yang tidak pernah menyuruhku belajar.
yang justru tertawa ketika nilai-nilaiku jatuh, karena merasa kejatuhan itu biasa saja.

Dialah ibuku,
yang tidak jarang kusakiti, tapi akan segera tersenyum kembali bahkan sebelum kemarahanku hilang.

Dialah ibuku,
Yang wajah dan lambaiannya selalu ada di luar jendela, tiap kereta membawaku kembali ke Jakarta.

Dialah ibuku,
Yang jika aku boleh meminta, akan kumintakan surgaNya untuknya.

Dialah ibuku,
Cahaya.
Cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar