Selasa, 13 September 2011

Jika Jakarta Bisa Dipacari

Kalau Jakarta pacaran denganku, sebulan lagi mungkin kami putus.
Sayang, Jakarta bukan sesuatu yang bisa dipacari, yang kalau aku mau bisa ditinggal pergi sesuka hati.
Hanya rasa syukur atas nikmat Allah lah yang memintaku untuk belajar mencintainya, karena aku akan hidup di Jakarta untuk waktu yang tidak dapat diperkirakan, well...., boleh jadi untuk selamanya.

Daripada terus mengutuk kemacetan yang tiap hari kutemui saat melangkah keluar pintu rumah, bukankah lebih baik mengagumi jajaran gedung bertingkat yang tampak angkuh dari kolong, namun terlihat kompak dari jendela kopaja tiap melintas di flyover. Kecantikan bukan hanya milik Dieng, Brastagi, Bunaken, atau Raja Ampat saja. Jakarta minus wajah alamiahnya pun bisa menjelma menjadi soooo romantic, sooo beautiful, soooo photogenic, especially on the night.
Bersyukur karena jakarta pusat kehidupan di negeri ini, which is mean, hampir semua kebutuhan materiil dalam hidup orang bisa didapatkan di sini. Pusat perbelanjaan di mana-mana, bahkan mungkin hampir di setiap jengkal tanah jakarta bisa didapati aktivitas jual beli. Fashionista terpuaskan, penggila gadget tinggal memilih, ibu-ibu rumah tangga bebas berbelanja di pasar-pasar tradisional, atau pasar modern yang lebih 'berkelas'. Hanya itu? Jangan salah, sekarang pecinta batik mungkin akan memilih berbelanja di Jakarta daripada harus berwisata ke seluruh penjuru negeri hanya demi melengkapi koleksi batik nusantara.
Pusat pemerintahan, no doubt. Silakan singgah di Jakarta untuk berdemo. Tinggal datangi instansi apa yang mau diprotes. ^^v

Untukku, yang bermimpi mengenyam pendidikan tinggi, Jakarta bisa jadi tempat yang tepat, tentunya dengan berbagai macam konsekuensi. Akses ke pimpinan tertinggi instansi tampatku mengabdi pun lebih cepat, sehingga urusan informasi serta perizinan lebih mudah (mungkin, seharusnya). Lembaga pendidikan formal dan non formal menjamur, tinggal pilih yang sesuai IQ dan sesuai kantong. Butuh fasilitas pendukung belajar dan pelengkap kecintaan akan ilmu pengetahuan tersedia pula.

Inilah Jakarta, semua ada.
Termasuk kesenjangan yang memilukan, dapat ditemui di sini.
Di mana ada gedung perkantoran, di sana ada pengemis meringkuk di sudut jembatan penyeberangan. Ada Alphard "Silver Bird" yang keluar masuk kompleks tinggal para ekspatriat, ada kopaja batuk-batuk yang menebar asap hitam, menyisakan jelaga pada batang pohon di sepanjang jalan "rakyat". Kampung Melayu tenggelam seleher, Menteng beserta istana negara cuma basah sisa hujan semalam. Ada yang sibuk melelang properti kepunyaannya yang tidak laku-laku, ada yang meratap memohon petugas mengurungkan penggusuran permukiman kumuh tempatnya tidur setiap malam.

Senin, 12 September 2011

Cinta part II

Untuk kawanku, Y di seberang sana...

Berbahagialah bahwa menurut banyak orang kau tidak cantik,
Dengan demikian kau tidak akan sering diuji dengan cinta semu yang datang dan pergi.

Berbahagialah bahwa kau tidak sering dipuji,
Karena ketika cinta itu datang, kau akan temukan bahwa cinta itu sejati, bukan cinta birahi.

Bersyukurlah bahwa kau, tidak banyak orang yang menginginkan,
Karena tidak akan banyak kau sakiti orang-orang yang hatinya terpatahkan.

Bersyukurlah dengan apa yang kau punya, tanpa harus berusaha memolesnya dengan kecantikan palsu bermacam warna....
Karena cinta........... bukan cuma kepunyaan mereka yang indah rupa

Minggu, 04 September 2011

Cinta part I

Aku tidak pernah mengucapkannya, karena cintaku padamu terlalu besar untuk sekedar diucapkan.
Pagi tadi kau sibuk mempersiapkan keberangkatanku, membelikan oleh-oleh segala rupa, padahal seandainya bisa, kaulah oleh-oleh yg ingin kubawa serta.
Aku hebat,
karena tadi pagi sudah bisa menyembunyikan airmataku dari pengetahuanmu.
Cengeng ya....entahlah, aku hanya merasakan ada yg tertinggal denganmu, yakni separuh hatiku.
Kalau jauh darimu adalah cara untuk membahagiakanmu, akan kutahan rasa rindu.
 Tuhan menjagamu selalu,ibu...

Jumat, 02 September 2011

I love becoming who I am now

Di dalam Perahu Kertasnya, Dee mencoba menjebol dinding yang menghalangi pandangan orang tentang kehidupan. Keenan yang hampir jenius meninggalkan harapan banyak orang terhadapnya dan memilih jalannya sendiri sebagai pelukis, so does Kugy, dia memilih menjadi penulis dongeng yang bagi orang "kebanyakan" profesi itu enggak banget.

Banyak contoh usaha para seniman atau pencipta dalam dunia hiburan demi menanamkan pada pikiran masyarakat bahwa kebahagiaan itu tidak datang dari berlimpahnya harta secara materi, melainkan kepuasan hati terhadap apa yang kita kerjakan.
Sayang, contoh-contoh yang dipakai melulu mereka yang minatnya cenderung pada dunia seni, yang secara tidak langsung memunculkan kesan bahwa mereka yang bekerja di bawah komando orang, atau yang bekerja dengan ritme monoton, atau yang biasa bekerja ditodong deadline merupakan orang-orang malang yang tidak berhasil merubuhkan dinding itu, dinding yang menghalangi potensi asli seseorang untuk muncul, yang memenjarakan kecintaan seseorang pada sebuah dunia lain.

Poor me, saya PNS.
setinggi-tingginya pangkat PNS tetap saja saya kacung. Semacam itulah simpulan yang terpaksa saya ambil dari membaca banyak novel serta merenungkan banyak lagu.

Sekali-kali adakanlah wahai pekerja seni, liputan mengenai orang yang benar-benar cinta dengan ke-PNS-an nya, well, maybe not me, not yet....but I'm trying to do my best.
meminjam istilah seorang senior, PNS bahagia (my best regard to him, haha), mungkin gak?
kenapa tidak?
Apa yang lebih membahagiakan seseorang yang cinta pada bangsanya selain bisa mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya untuk melayani masyarakat, baik secara langsung maupun tidak? orang lain mungkin masih berpikir untuk memuaskan hasratnya pada apa yang dia benar-benar inginkan, tanpa memikirkan ada orang lain yang berharap dia bisa menjadi sesuatu yang lain. Seperti Keenan, saya pikir dia bukan contoh yang baik bagi anak-anak yang ingin berbakti pada orang tuanya, karena dia mengorbankan banyak harapan demi kesukaannya pribadi.

Andrea Hirata- another example of those who break tradition- chased his so-called the real life, his dream, which are weird for mostly people, then named himself a happy person.
Dapatkah saya mengatakan bahwa ketika seseorang harus menahan rasa bosan oleh ritme pekerjaan yang membosankan dan mungkin tekanan pekerjaan, namun semua itu membuahkan senyuman orang lain, yakni keluarga dan bangsanya sebagai orang yang bahagia? Tidak perlu mendobrak tradisi untuk membuat orang lain tersenyum, jika memang kebahagiaan itu didapat dari kebahagiaan orang lain.
Sacrifice feels enjoyable when somebody helped by it, directly or indirectly, realized or unrealized.
Bagi saya, pekerjaan bukanlah dewa, yang akan saya perjuangkan apapun kondisinya. Saya hanya akan bekerja jika orang lain membutuhkan, dan akan berhenti jika apa yang saya lakukan tidak menghasilkan apa-apa untuk orang lain, bahkan merugikan. Ketika saya menjadi apapun, termasuk menjadi pegawai seperti apa yang saya jalani sekarang, saya mencintainya, and I'm happy with that, meski sebenarnya saya lebih gemar menyanyi, :D
Orang lain tidak perlu mengasihani, dengan berpikiran bahwa saya dan kawan-kawan sesama profesi saya adalah orang yang terjebak dalam kehidupan yang sia-sia. Kesia-siaan itu justru jika saya menghabiskan usia saya untuk kepentingan diri, abai dari masalah orang lain.
Saya anggap rasa bosan, capek, hari-hari menyebalkan karena omelan atasan bahkan cibiran masyarakat yang picik sebagai pengorbanan yang menyenangkan, karena yakin suatu saat pekerjaan saya bisa membuat senang orang lain.

Singkat cerita, "I love becoming Who I Am Now", not "I'm Chasing Something I love"