Minggu, 30 Desember 2012

Jodoh dan Bahagia


Jika laki-laki adalah angka 3 dan wanita adalah angka 2,
kombinasi matematis keduanya bisa menjadi banyak hal

kita yang memilihnya.

Penciptaan manusia adalah misteri Illahi, demikian pula penyatuan dua manusia. 
Tentang permisalan berikut ini, apa yang kalian pikirkan?
Seorang wanita cantik dari keluarga baik-baik, cerdas dan berpendidikan, menikah dengan laki-laki tampan, dari keluarga yang terpandang, mapan dan berwawasan luas. Siapa yang pertama kali akan mengatakan bahwa mereka berbahagia? Kata saya, semua yang mendengar berita pernikahan mereka.
Seorang perawan tua berusia empat puluh tujuh tahun, kaya, menikah dengan pemuda berusia dua puluh dua, baru merintis usaha. Keduanya bertemu dan bersepakat menyatu dalam kerelaan. Siapa yang pertama kali akan mengatakan mereka bahagia? Mungkin tukang rias pengantinnya saja.
Seorang pemuda, I mean, benar-benar muda. Berbekal ijazah SMP dan KTP yang baru jadi dua tahun sebelumnya, dia memberanikan diri melamar kekasihnya yang lulusan SD dan baru melalui ulang tahun ke tujuh belasnya. Mapan? sama sekali belum. Sang pemuda bahkan belum mempunyai penghasilan sendiri. Lalu siapa yang akan yakin dengan kebahagiaan mereka? boleh jadi, hanya mereka berdua.
Silih berganti di televisi, berita perpisahan orang-orang ternama. Saya, pada awalnya berpikir mereka adalah pasangan-pasangan terbaik, dan berharap akan langgeng sampai mati. Bukan tanpa alasan, jika stabilitas rumah tangga diukur dengan kemapanan suami dan kecantikan istri, maka pasangan-pasangan yang diberitakan bercerai itu adalah contoh ideal. Kabar tidak sedap mengenai pernikahan yang hancur datang pula dari keluarga yang latar belakang agamanya bagus. Padahal tadinya keluarga ini sempat menjadi ikon kebahagiaan rumah tangga dan menjadi contoh bagi masyarakat.

Terlepas bahwa kehidupan memang sarat ujian, saya kemudian menganalogikan dengan persamaan matematis. Sangat bisa didebat, toh yang saya inginkan bukan pembenaran. Jika laki-laki bernilai 3 dan wanita bernilai 2, penyatuan mereka akan menghasilkan nilai baru, dan bisa beraneka ragam. Bisa jadi sembilan, delapan, enam, lima, satu setengah, satu, duapertiga, atau....minus satu. 
Sembilan adalah gambaran hasil penyatuan yang melejitkan potensi masing-masing individu. Fungsi 'pangkat' boleh jadi adalah rasa saling memahami, melengkapi, saling mendukung dan mengingatkan, kasih sayang, dan  'saling-saling' yang lain yang membaikkan (meminjam istilah MT).
Atau bisa jadi satu setengah hingga minus satu. Maka fungsi 'bagi' dan 'kurang' bisa disamakan dengan sikap intoleransi, kurangnya perhatian, egoisme, bahkan saling menyakiti. Tiga dan Dua akan berakhir menjadi nilai yang lebih rendah dari masing-masing pada awalnya.

Tuhan tidak akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang tidak bisa kita pilih sejak lahir. Warna kulit misalnya, bentuk mata hidung bibir, termasuk kondisi di mana dan oleh siapa seseorang dilahirkan. Selebihnya, manusia memilih jalan masing-masing. Terlahir bernilai 'Tiga' atau 'Empat' atau berapapun, Tuhan lah yang memilihkan. Pun dipertemukan dengan pasangan bernilai 'Dua', 'Tiga', atau berapapun, Tuhan sudah menggariskan sejak manusia dalam kandungan.

Keberhasilan mengelola cinta, jika boleh saya menggunakan kosa kata 'bahagia', bukan tergantung pada apa yang disatukan, melainkan bagaimana keduanya disatukan. Dari ketiga contoh di atas, mulai dari pasangan ideal di mata banyak orang hingga pasangan paling absurd dalam pandangan orang, bisa saja bahagia seluruhnya, bisa juga yang paling absurd adalah yang paling bahagia. Pasangan muda dan belum punya modal apa-apa tapi berhasil mempergunakan fungsi 'pangkat' sebagaimana analogi saya, who knows suatu hari justru menjadi keluarga sukses, secara materi maupun immateri. Meskipun, menyitir pendapat Cahyadi Takariawan, bahwa bahagia itu adalah kosakata ruhani. 

Tentang jodoh dan bahagia, siapa bilang semuanya terjadi begitu saja.

Jodoh sudah dipilihkan, sedangkan bahagia, kita yang memilihnya 

Minggu, 23 Desember 2012

Meyakinkan diri





“Yakin?”
Suatu pagi, pertanyaan itu lagi.

Ketahuilah, pertanyaan itu sudah kuuji pada diri jauuuh sebelum ini. Bahkan masih terus berputar di kepala sampai diputuskan tanggal pelaksanaannya. Jika, ‘keyakinan’ adalah kesatuan yang utuh, berarti saat ini aku masih harus menemukan potongan-potongan lain agar ia sejati.

Tidak seperti hendak memilih sekolah, di manapun sekolah yang terpilihkan, paling-paling itu hanya mempengaruhi masa depan pekerjaan. Sedangkan ini, aku sedang menentukan keberhasilan hidupku di dunia dan akhirat. 

Ini bukan tentang pesta. Akhir-akhir ini orang-orang di sekelilingku justru sibuk menanyakan nanti akan memakai gaun berwarna apa, acara diadakan di mana, sudahkah berita bahagianya disebarkan, menyarankan rupa-rupa perawatan, dan banyak hal yang sesungguhnya bukan penyebab utama kegelisahan.

Beberapa menggoda dengan menceritakan seluk beluk malam pertama. Haha...ya ampun, usiaku memang baru dua puluh tiga tapi aku sudah cukup dewasa untuk mengerti bahwa pernikahan bukan hanya tentang itu saja.

Kawan, aku tidak memutuskan ini karena telah siap.

Bagaimana mungkin bisa kusiapkan diri dalam waktu beberapa bulan untuk segera menyandang peran-peran baru. Sebagai istri, sebagai menantu, sebagai ipar, bahkan insya Allah....sebagai ibu. Sampai hari ini pun mengurus diri sendiri aku belum mampu. Bagaimana aku bisa mengatakan siap, padahal hak tubuhku saja sering tak imbang dengan waktu, sibuk mencari cara aktualisasi diri sana sini, tenggelam dalam pencapaian misi hidup. Siap dari mana?

Tapi aku tidak mau mengulur waktu, karena pertanyaan akan begini sampai kapan ternyata tidak bisa kujawab. Sampai bergelar sarjana? Sampai punya rumah? Sampai cukup waktu menikmati hasil keringat sendiri? Tidak akan kubiarkan cita-cita egois melenakan kemudian memperpanjang masa tanggung jawab bapakku atas dosa-dosa yang kuperbuat. Dua puluh tiga menurut kalian masih terlalu belia? Tidak kalau beban di pundak bapakku jadi taruhannya.

Mengenai kemantapan hati, bantu aku membangunnya setelah keputusan ini dibuat. Kemantapan itu tidak akan terbangun kalau tidak ada niat. Doakan supaya dipermudah menimba ilmu dan telah telah tepat menjatuhkan pilihan. Dengan siapa? Tentang itu, biar Allah sajalah yang menggenapkan.


Karenanya, dengan mengharap keridhoan Allah,
Insya Allah kami menikah, 
Sabtu, 5 Januari 2013 dan bersiap menyambut teman dan keluarga pada 6 Januari 2013 di Tulungagung, Jawa Timur.

Doakan aku saja, jangan lagi menanyakan keyakinan hati. :)


Sabtu, 24 November 2012

RUMAH

 
hanya rumah yang berhak dipulangi

selainnya kita hanya pergi dan kembali.



Rumah adalah tempat yang menahan kaki seseorang untuk pergi jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Tempat tinggalku di Jakarta sekarang bukan, karena tiap waktu luang aku selalu sibuk mencari tempat untuk menghilangkan bosan. Saat aku sangat ingin kembali hanya jika lelah menyerang, dan pada akhirnya kamarku hanya kuakrabi di waktu malam.

Rumah adalah yang menghilangkan keinginan seseorang untuk makan di restoran. Walaupun hanya ada nasi dan sepotong tempe goreng, makan di "rumah" adalah hal yang membahagiakan. 

Rumah adalah yang membuat jiwa yang berlindung di dalamnya merasa nyaman. Bukan yang repot-repot dihias dengan bermacam ornamen dan pelengkap bangunan. Bahkan mungkin, meski tanpa sofa, batthub, lampu taman, balkon berpemandangan sepenjuru kota, ruang makan, maupun kasur, rumah adalah bagian dunia yang paling nyaman, menenangkan. Harusnya, setiap orang punya tempat seperti itu dalam 24 jam hidupnya sebagai tempat menghilangkan penat setelah bertebaran di bumi seharian.

Aku merindukan rumah. Belum lagi kutemukan senyaman kampung halamanku yang jauh. Aku ingin pulang setiap hari. Bukan menunggu libur cuti bersama atau long weekend untuk merasakan damai. Hampir mustahil memboyong "rumah"ku ke sini. Jika memang demikian, aku ingin membangun atau menemukan rumahku sendiri di kota ini. Rumah. bukan hanya bangunan yang kutinggali.

Kamis, 04 Oktober 2012

Hujan....



Hujan kesekian.

Perasaan damai yang berulang.

Tadi sore Gatot Subroto padat, gelap menggantung melingkupi kepala patung Pancoran. Kelam langit timur meski maghrib belum lagi tiba.
Aku menyukainya, ketika kesegaran meruap dari bumi. Ah, barangkali jika bisa, kamu akan menari, bumi. Kering dan terik berhari-hari, akhirnya terbayar.

Aku menyukainya, ketika sinar lampu jalan berpendar, tampak percik hujan dalam keremangan. Ini kedamaian yang luar biasa. Tadi, kubiarkan hujan membasahiku, sementara adzan maghrib mengantarku ke pintu.

Derap hujan pada atap.
Aku terlindung. Allah Maha Pengasih.

Rasa yang tidak jauh berbeda. Jika hujan memaksa adikku absen mengaji. Absen main sepeda. Absen main air di kolam belakang. Aku biasa melamun memandangi halaman yang basah hingga tergenang. Menyanding adikku yang menggelar koleksi mobil-mobilannya memenuhi lantai ruang keluarga. Bapak pada kursinya, ibuk sering tidak nampak, hingga bau pisang goreng memenuhi rumah.
Rasa ini berulang. Serupa ketika hujan deras menggagalkan rencana menraktir martabak ibuk dan sepupu. Mereka berdua menginap di kosku. Alih-alih menyesalinya, ibuk dan sepupu menikmati pemandangan hujan dari balkon lantai dua. Setelahnya, kami mengobrol sambil menghirup teh panas yang kubuatkan spesial untuk mereka. 

Kedamaian ini pernah datang. Ketika bus membelah jalan berkelok, mengenalkanku pada kota-kota pegunungan Sumatera. Sepanjang Kepahiang-Curup-Linggau-Dharmasraya-Sijunjung-Solok, subuh hari dalam perjalanan menuju Padang. Aku dikelilingi hutan yang basah. Saat-saat yang melankolis sekaligus kontemplatif. Tak tergambarkan. Hujan pula yang mengantarku meninggalkan Sumatera Barat. Hei karib terbaikku, Pito, sedang apa kau sekarang? hujan juga kah di sana? kau patut mensyukuri kedamaian kota yang kau tinggali sekarang. Sulit ditemui di Jakarta. Tak jauh dari pantai Padang, apa kakakku sedang ngopi kongkow-kongkow bersama kawan-kawanya? 

Seperti hari ini. Kedamaian yang kucari. Aku memenuhi hak tubuhku untuk pulang tepat waktu. Bukan merindui kamar kos, namun ingin segera bercerita pada malam tentang hujan yang gelagatnya bakal turun sejak siang.

Indah dan damai tak terkatakan.

bersama syukur, cintaku padaMu turut melangit dalam sujud.

Kamis, 16 Agustus 2012

Kita, Do'a, dan Realita


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا. قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ اللَّهُ أَكْثَرُ
“Tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar kerabat) melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: (1) Allah akan segera mengabulkan do’anya, (2) Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan (3) Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdo’a.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan do’a-do’a kalian.”
"Aku pengen kuliah di manapun asal yang nggak ada hubungannya sama ekonomi."
"Ya Allah, tempatkan aku di manapun di Indonesia asal bukan Jakarta."
Cemen, aku harus menertawakan diri jika mengingat pernah terbersit dalam pikiran untuk berhenti saja berdo'a. Toh Allah sudah menyiapkan skenario untuk semua makhlukNya. Lihat saja, STAN dan Jakarta dipilihkan Allah untukku. Hah..., betapa ecek2nya kualitas ruhaniku hingga kubaca:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
60. Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku[1326] akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina."
[1326]. Yang dimaksud dengan menyembah-Ku di sini ialah berdoa kepada-Ku
Seorang kawan bertanya apa yang harus dilakukan jika do'a tidak terkabul, sedangkan sabar itu luarbiasa sulit. Ujian yang dia alami jauh lebih kompleks daripada sekedar sekolah jurusan apa kerja dimana macam yang pernah kukeluhkan. Rasanya tidak pantas aku menjawab ala ustadz, karena faktanya sabar akan terkabulnya do'a sering terlupa, meski teorinya jelas, sebagaimana hadits di atas. 
Akupun mengumpulkan segenap hatiku untuk menjawabnya melalui pesan singkat. haruskah? ya, datang dari hati akan sampai pula ke hati. Begitu pikirku.
Jika manusia bisa mendapatkan semua yang diinginkannya, mungkin dia berhak menggantikan posisi Tuhan. 
Demikian bunyi pesanku.
Lantas aku merenungi sendiri jawaban yang kubuat. Tidak ragu, Allah sayang pada kita. Dia tidak ingin kita menjadi hamba hina yang lupa, bahwa makhluk adalah sesuatu yang terbatas. Ketika manusia mulai menginginkan banyak hal, Allah kasih peringatan, hey...kamu...jangan lupa Tuhanmu, yang segala keputusan tentang hidup ada di tanganNya. 
Ah, bahkan sampai di sini aku masih belum bisa memahamkannya, seperti apa seharusnya sikap ketika berdo'a. Jika Allah menjanjikan akan mengabulkan do'a-do'a, seorang hamba harus yakin, optimis, percaya diri. Sedangkan pada kenyataannya Allah tidak selalu mengabulkan apa yang dipinta. Adakala ditunda, kadang dihindarkan dari bahaya yang setara dengan pengabulannya. Lalu? wajar dong, jika terselip pikiran 'gimana kalau' usai berdo'a, yang pada taraf tertentu bisa mengaburkan keyakinan seorang hamba.
Bagiku -dan semoga temanku juga mengerti kemudian- kebodohan, kelemahan, serta segala keterbatasan manusia cukup untuk menjadi penjelasan kenapa tugas kita hanya berusaha dan berdo'a. God will do the rest. Kalau ilmu manusia dijadikan seluas bumi langit, kemudian bisa mengetahui mana yang baik bagi dirinya di masa depan, bolehlah dia protes kenapa do'anya tidak terkabul. Painful? mungkin iya. Demikianlah baja dijadikan tajam melalui tempaan luarbiasa. Kalau boleh memilih, semua ciptaan akan memilih untuk hidup dengan baik tanpa kesulitan. Tapi itu bukan cara untuk menjadi kuat. Silakan menyangkal, namun aku percaya kekuatan pada ciptaan hanya bisa terjadi dengan latihan, dengan uji coba, latihan lagi, uji coba lagi, hingga nampak kualitas tertinggi yang bisa dicapai. Allah hendak meninggikan derajat sebagian dari kita, maka dibikinlah mekanisme tempa-uji coba dan seterusnya.
Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu. (QS Muhammad: 31)
Aku merenung kembali. Sabar. I got it, inilah sebenarnya yang dipertanyakan temanku. Dia hanya ingin tahu bagaimana bersabar, dirasa sulit untuknya. Oh, kalau itu akupun demikian kawan. Sabar pun termasuk ujian. Mungkin, ini semacam final exam di samping ikhlas. Penyabar yang ikhlas mengabdi pada Allah bisa memperoleh nilai tinggi di hadapanNya.
Sabar terhadap pengabulan do'a, kemudian ikhlas menerima realita yang ternyata berlawanan dengan apa yang diminta, is really a hard thing to do.
Diantara kita dan realita, ada do'a, temanku. Di balik itu semua, Allah berkuasa.
Ujian ini hendak membuatmu jadi manusia kuat terpilih.
Tutupku. Semoga aku selalu mengingat nasehat yang kukirimkan padanya.

Rabu, 15 Agustus 2012

Laporan Kegiatan Bulan Berbagi

Alhamdulillaaah,

hanya kata itu yang bisa terucap, sepulang kami dari Panti Yatim Indonesia Tebet. Tersampaikannya donasi barang ke panti asuhan tersebut menandai selesainya tugas kami sebagai perpanjangan tangan para dermawan dalam project Bulan Berbagi.
Siapa yang sangka, kegiatan yang tadinya saya pikir sederhana saja, melibatkan satu dua orang, dengan dana kecil, ternyata dalam pelaksanaannya sungguh di luar dugaan.

Sehari setelah saya memposting ide Bulan Berbagi di blog kemudian men-share di beberapa situs jejaring sosial, beberapa sms masuk menanyakan perihal project tersebut. Sehari setelahnya, beberapa sms masuk untuk konfirmasi transfer donasi. Yang berkesempatan bertemu langsung, tidak sedikit yang menyerahkan donasi tunai. Subhaanallaah....saya salut dengan quick response teman-teman.

Project A: Bagi Takjil

pita pink untuk takjil yang manis ;)
she got something for break fasting...
makasih kak...
Project pertama adalah bagi takjil anak jalanan dan pemulung di sekitar Pancoran-Tebet. Seperti telah saya ungkapkan di atas, berhubung donasi yang terkumpul di luar dugaan, yang tadinya saya hanya membayangkan akan membuat 20 paket takjil saja untuk dibagikan kepada anak jalanan di Simpang Tugu Pancoran, pada akhirnya terdistribusilah 200 paket takjil kepada anak jalanan, pemulung orang-orang yang sedang berada di jalan menjelang magrib, serta tentunya kepada beberapa orang yang telah ikut membantu proses penyediaan takjil. 10 kali lipat kawan!! Dengan 5 personil pembungkus takjil serta 8 personil pembagi, ternyata paket tersebut baru bisa habis terbagi dalam dua kali jalan. Sore tanggal 4 Agustus serta 5 Agustus 2012.




Project B: Buka Bersama Panti Asuhan


Kepadatan jadwal Panti Yatim Indonesia Tebet mengharuskan project buka bersama dialihkan ke Panti Asuhan di Condet, Cililitan asuhan Hj.Masnah. Relawan bertambah teman-teman dari Jakarta Pusat serta dari Cililitan sendiri. Salut saya untuk kedua kalinya dengan kerja keras mereka.

11 Agustus 2012, dimulai jam 5 sore, acara dimulai oleh Ketua Yayasan. Sayangnya, karena satu dan lain hal, beberapa panitia termasuk saya, terlambat hadir di TKP sehingga dokumentasi kegiatan kurang maksimal dan beberapa belum sempat merasakan makan bareng adik-adik, karena keterbatasan waktu. Namun demikian, insya Allah amanah teman-teman dermawan telah tersampaikan, teriring do'a dari adik-adik panti. Acara diakhiri menjelang isya' dengan dibagikannya "angpau lebaran upin-ipin" kepada 54 anak yang hadir di acara ini.







Project C: Donasi Barang



serah terima donasi dengan pengurus
Sarung, baju koko, dan alat tulis.
Sehubungan dengan project C ini, rupanya tidak banyak teman-teman yang menyalurkan barang untuk didonasikan. Namun ada beberapa kawan yang mengamanahi saya untuk mewujudkan donasinya dalam bentuk barang yang bermanfaat untuk anak-anak Panti Asuhan, sehingga kelebihan dana yang belum teralokasikan untuk takjil serta buka bersama diputuskan untuk dibelikan bingkisan lebaran yang akan diserahkan ke Panti Yatim Indonesia Tebet, selain juga sebagai pengganti buka bersama yang dialihkan ke CIlilitan. Sebanyak 25 buah sarung, 22 baju koko, serta paket alat tulis akhirnya diserahterimakakan kepada pengurus Panti Yatim Indonesia Tebet, pada 12 Agustus 2012, menjelang Ashar. Saya sampaikan titipan terimakasih dari pengurus Panti Yatim Indonesia Tebet kepada teman-teman dermawan. ;)

Untuk penggunaan donasi secara umum (dengan mengingat amanah donatur untuk merahasiakan identitas), berikut laporannya:


Akhir kata,
Jujur, ini adalah Ramadhan paling berkesan. Mimpi saya dan kawan2 untuk berbuat sesuatu bersambut cepat oleh pembaca. Takjub saya dengan solidnya teman-teman relawan serta kemuliaan hati para donatur, yang insya Allah tidak berbalas apa-apa kecuali do'a para penerima santunan yang akan diijabahi Allah dengan balasan yang berlipat-lipat. Saya sebagai pribadi, kepada teman-teman relawan dan donatur mohon maaf atas segala khilaf, atas jamuan yang tidak layak, atas pertanyaan yang tidak terjawab sempurna, atas waktu yang tersita, atas ketidakrapian manajemen, dan mungkin (meski tentu tidak ada kesengajaan) atas amanah yang tidak tepat sasaran. Semoga keringat dan harta yang dibelanjakan di jalan kebaikan bisa memperberat timbangan amal kelak di akhirat.
  
Amien Ya Rabbal 'Alamiin...

Sabtu, 21 Juli 2012

Mencintai orang yang salah


Pada secangkir teh pagi itu, cahaya matamu bercerita.

"Aku mencintai orang yang salah." Kau memulai.

Tidak pernah salah mencintai apapun, ayah, ibu, anak-anak, teman, pacar, guru, presiden bahkan.

Kau menggeleng. "Aku abnormal!!"

Apa....!!
Cangkir teh bergetar, meriakkan isinya.

Kau semakin layu. Wajahmu menunduk dalam. Menghela napas, "Aku mencintai bayangan. Orang dalam bayangan. Orang yang tidak pernah ada."

Kau menyeruput teh. Kau serius, karena tampak cahaya matamu pagi ini kalah oleh matahari yg menerobos di sela tirai.
"Orang itu mencintaiku juga..." kau tertawa getir "...tentu dalam bayanganku."
"Kami saling memikirkan sedang apa di tempat masing-masing. Kami tidak saling bicara. Namun tatapan matanya memberitahu segalanya. Aku berdebar saat tak sengaja berpapasan dengannya pada sebuah kesempatan, dalam bayangan. Aku tersipu mendengarnya bicara pada temanku tentangku, dalam bayangan. Aku menangis, tertawa, ngambek, tersanjung, oleh segala hal yang dia lakukan, dalam bayangan.

Kau memainkan jarimu pada bibir cangkir. Teh sudah hilang uapnya.

"Kami berencana menikah. Dia datang ke rumah. Berbicara serius pada orang tuaku. Kami tidak berbicara apa-apa. Aku hanya mendengarkan dari dalam. Hingga tiba saat pulang, hanya tatapan mata kami saling berpamitan."

Manis sekali. Aku yakin dia pria yang tampan.

Kau mengelak. "Semua itu terjadi dalam bayangan."

"Aku tidak bisa menggambarkan seperti apa wajahnya. Tidak berani lebih tepatnya. Aku tidak bisa menceritakan dari mana dia berasal. Tidak berani lebih tepatnya. Dia hanya bayangan. Tanpa detail wajah, tanpa asal. Aku bahagia dengannya cukup seperti itu."

Barangkali itu representasi seseorang yang pernah kau temui di dunia nyata.

"Tidak. Aku tidak pernah mengenal siapapun yang bisa mengganggu tidurku sehebat ini. Aku insomnia karena bayangan yang kuciptakan sendiri."

Siapa namanya?

"Dia tidak bernama. Aku mencintainya tanpa predikat, tanpa panggilan, tanpa sebutan. Cukup seperti itu."

Teh di dalam cangkir sudah dingin. butiran daun teh yang lolos dari penyaring telah sepenuhnya tenggelam. 

Aku mengasihimu. Kau yang selalu duduk menghadapku setiap pagi, menimati secangkir teh panas. Bercerita tentang segala hal pada cangkir yang sama setiap hari.
Aku bisa melihatmu melakukan banyak hal, mengalami banyak peristiwa. Seperti kemarin dulu saat laki-laki yang kusimpulkan adalah pacarmu datang. Kalian larut dalam perdebatan, kemudian kemarahan masing-masing meletup.

Dia meneriakimu. Kamu berteriak balik padanya. Dia bersikeras memintamu mengakui, kenapa kamu berubah. Kamu bertahan tidak menjawab hingga tamparan keras laki-laki itu mendarat di pipimu. Ah, kasihan kamu. Air matamu meleleh, namun kau tidak bersuara. Laki-laki itu geram benar sampai tak tahu harus berbuat apa selain meninggalkanmu. Ketika dia hampir di pintu, dengan suaramu serak tertahan, “Aku mencintai laki-laki lain.” Laki-laki itu sudah lelah, dia hanya menggeleng pasrah. Kalian berpisah.

“Aku mencintainya.” Kau mengulanginya pada pagi yang lain. Pada cangkir yang sama.

Sayang, kamu harus bangun. Kamu harus belajar hidup di dunia nyata.

“Tidak ada laki-laki sebaik dia.”

Dia tidak ada.

“Justru dia selalu ada. Dalam setiap bangun dan tidurku.”

Sayang...

“Kami akan menikah.”





_Tebet, 2 Ramadhan 1433 H_

Minggu, 27 Mei 2012

Menyangsikan Pagi


Sore yang terik. Adzan ashar padahal sudah satu setengah jam berlalu. Bu Ida masih sibuk dengan Huda. Sungguh mengajari anak satu itu perlu kesabaran ekstra.

"naa shi ba huu..." tuntun bu Ida.

"na shii..baa.." Huda berpeluh.

bu Ida menggeser posisi duduknya, lebih dekat kepada bocah itu. "naa, panjang Le, dua ketukan. Naa,... "
"naa shii baa huu" suara Huda menggetar. lengkap, semua jadi mad.

perjuangan Huda telah berlangsung limabelas menitan, namun dia masih berkutat dengan panjang pendek huruf nun pada baris ketiga.

di belakang Huda, teman-teman sebayanya yang belum mendapat giliran baca tampak gelisah. Cuaca sepanas itu tidak memungkinkan mereka menunggu sambil bermain di halaman langgar. Jadilah buku iqra' dipakai kipas-kipas. bukan hanya seorang, aksi kipas-kipas dengan buku iqra' terjadi berjamaah. menggelikan.

"panjang pendeknya Le, shad nya pendek, dilihat harakatnya ini lo..." terang bu Ida kembali.
dengan segala daya, "Naa, shi ba huu...", akhirnya Huda berhasil melafalkan sepotong kalimat dengan benar. Jamaah kipas-kipas menghela napas lega, meski harapan bahwa Huda bisa menyelesaikan baris keempat dan kelimanya harus dikemas dengan sabar. Kasak-kusuk mulai terdengar di belakang, ada yang terkekeh melihat Huda, ada yang garuk-garuk tidak punya ide mau menunggu dengan gaya apa.

Bagi bu Ida, Huda adalah tipe anak yang akan selalu ada dalam generasi santri ngaji dimanapun dan kapanpun. Adalah Lik Busro, yang tidak lain adalah paman Huda, dulunya mendapat sebutan anak setan dari para tetangga. Nakal bukan main, ngaji pun bebal bukan main. ketika teman-teman seusianya sudah iqra' enam menjelang Al Quran, Lik Busro pede dengan iqra' duanya. Ketika guru ngaji lain sudah angkat tangan dengan perangai Lik Busro, Bu Ida mencoba bersabar. selalu kata beliau, "batu sekeras apapun, kalau ditetesi air lama-lama berlubang juga." wa Subhanallah, siapa sangka siapa nyana, Lik Busro sekarang menjadi modin di usianya yang baru tigapuluh, selulusnya dari pesantren di Jombang.

Kupandangi sekumpulan anak-anak itu. Sore ini hanya sembilan orang yang mengaji di langgar. Suci, keponakanku, menjadi pendatang baru. Sejak dhuhur dia sudah mandi, merengek minta diantar ke langgar untuk mengaji. Teringat ketika seumuran Suci aku dan teman-teman sebayaku sering ramai-ramai berlarian ke langgar jika adzan ashar berkumandang. Setiap lewat rumah seorang teman, kami meneriakkan kode “Ji !!” singkatan dari ‘ngaji’, sebagai ajakan untuk bersiap jamaah ashar kemudian mengaji. Teman yang sudah siap akan menyahut “Ji !!” pula. Maka ramailah sore kampung kami dengan Ja Ji Ja Ji sana sini dan suara kecipak sandal jepit massal.

Aku tersenyum sendiri mengenang kebiasaan tujuh belas tahun yang lalu itu.

Langgarlah yang menjadi saksi pergantian generasi di kampung kami. Ketika bu Ida baru pindah ke kampung ini, langgar kala itu menjadi pusat kegiatan keagamaan masyarakat. Langgar yang utamanya merupakan tempat shalat jamaah lima waktu, kadang dimanfaatkan untuk menginap para pemuda kampung yang malas pulang ke rumah usai ngaji kitab atau meronda, selain juga menjadi tempat ibu-ibu rutinan yasin tahlil dan anak-anak belajar iqra'. Dengan semangat mudanya waktu itu, bu Ida ikut turun tangan, mengajar iqra' anak-anak kampung. Generasi TPA berganti tiap dua tahun sekali. Jika dihitung, anak yang mulai di-TPA-kan rata-rata berumur lima tahun. Selesai iqra' enam yang biasanya ditempuh selama setengah tahun, santri melanjutkan Al Quran hingga khatam tiga puluh juz. Jika orang tua sadar agama, anak-anaknya yang telah khatam Al Quran akan diarahkan untuk melanjutkan pendidikan agama di Madrasah Diniyyah terdekat. Kelulusan santri TPA bukan berarti tugas guru TPA selesai, karena ada anak-anak generasi baru yang menunggu ditempa.

Aku masih menunggu di teras ketika anak-anak berhamburan keluar langgar. Sebagian masih antri mencium tangan Bu Ida, termasuk Suci. Tubuhnya yang hanya tiga perempat tinggi kawan-kawannya yang lain membuatnya kesulitan mencapai tangan Bu Ida. Terdesak melulu ke belakang.

“baarakallah..” Bu Ida mengusap-usap kepala Suci sambil menggandeng tangannya menuju aku.

Segera kucium tangan beliau, “Marwah bu,” ujarku mengingatkan. Bu Ida mengernyitkan dahi sejenak menatapku, kemudian, “Marwah sulungnya Pak Sunari?” Aku mengangguk.

“Ya Allah, pangling ibuk, kapan datang?” sambut Bu Ida renyah.

Obrolan pun berlanjut sembari berjalan pulang. Sesekali Langkah Bu Ida terhenti, penyakit pengapuran tulang yang diderita membuat gerak beliau tidak seaktif dulu. Namun demikian, Bu Ida kelihatan bersemangat mendengar ceritaku tentang Jogja, kota yang menahanku selama lima tahun ini. Terkadang beliau merespon dengan helaan khasnya, tertawa lirih, hingga menepuk-nepuk kepala belakangku, seperti yang biasa beliau lakukan dulu, ketika aku masih santri iqra’ Bu Ida. Sambil berkali-kali menarik lengan Suci yang mulai meloncat-loncat tidak stabil di jalan, aku bercerita tentang prestasi-prestasiku selama kuliah, hingga berhasil meraih beasiswa strata dua di kampus yang sama. Dari balik kacamata Bu Ida, kulihat binar matanya, takjub seolah baru mendengar cerita seperti itu seumur hidupnya. Bu Ida mungkin tidak pernah mengenyam pendidikan formal setelah lulus SD, anaknya pun hanya bersekolah sampai SMP, kemudian bekerja membantu suami Bu Ida di sawah.

Air muka Bu Ida yang ceria seketika berubah sendu saat kusinggung mengenai sedikitnya santri yang tadi hadir di langgar.

“Anak-anak di kampung ini lebih memilih les ketimbang ngaji.” Aku mendengarkan takzim. “ya bagaimana, sekarang sekolah-sekolah kan sudah ples ples. Ada ngajinya sekalian. Ibuk senang kalau pendidikan agama sudah dipentingkan. Tapi ibuk heran kok akhlak anak-anak yang sekolah sampai sore, les di mana-mana, ada yang sampai manggil guru ke rumah, kok ndak tambah baik.” Bu Ida berhenti sejenak, meraba-raba lututnya. Tertawa kecil. “Maklum, produk lama, mulai karatan,...”

Aku merasakan kegetiran dalam tawanya. Suci kusuruh pulang duluan, sementara aku singgah di rumah Bu Ida.

“Dulu ibuk berharap Marwah atau Rizal bisa bantu-bantu ngajar.” Aku menunduk. Rizal, anak cerdas itu, sekarang di Jakarta, mengejar sarjananya. Kami memang sering menjadi contoh untuk santri lain, dikarenakan kemampuan kami menyerap ilmu dengan cepat. Bu Ida memandang nanar ke arah jalan.
“Kayam, anak ibuk satu-satunya ikut suaminya ke Bangil. Wahyudi merantau ke Brunei, adiknya Ahmad sekalian. Busro sama Malik sudah jadi modin dan carik di kampung sebelah. Selain itu... “ bu Ida mendesah. Ada kepahitan dalam kalimatnya. “...anak-anak muda kampung ini sekarang lebih suka jogrogan di kafe. Atau kalau tidak begitu ya sibuk dengan pekerjaan atau sekolahnya.”

Candekolo, nyala merah yang menoreh di langit barat nampak seram. Angin kering sisa hari yang luarbiasa panas mendesau-desau. Seperti buru-buru sembunyi dari petang. Hatiku kian teremas-remas oleh penuturan Bu Ida.

“Ibuk ndak mau melihat Al Quran ditinggalkan sama anak-anak. Meski sedikit, Ibuk ndak papa. Kalau nanti di akhirat ditanya sama Gusti Allah ‘kenapa kampung ini rusak’, semoga Ibuk bukan termasuk orang yang disalahkan. Ibuk bisa ngaji, paling tidak a ba ta, ya sudah menjadi kewajiban untuk mengajarkan kepada orang lain. Alhamdulillah, Gusti Allah masih memberi sehat sama ibuk.” Bu Ida tersenyum sambil menepuk dadanya, berusaha menciptakan image kuat. Aku berusaha tersenyum. Bagaimanalah mataku bisa ditipu oleh gerak langkah kaki Bu Ida dalam perjalanan pulang tadi. Ibuku bilang, penyakit Bu Ida sering membuat beliau tidak bisa berjalan. Pernah karena sudah hampir sepekan Bu Ida istirahat karena penyakitnya, anak-anak libur mengaji. Tidak mau melihat anak-anak terlantar, Bu Ida pun memutuskan untuk mengundang anak-anak mengaji di rumahnya. Saat itu ibuku yang kebetulan sedang menjenguk beliau tidak bisa menahan tangis melihat betapa sulitnya Bu Ida berpindah dari kasur ke lantai, agar bisa menyimak bacaan anak-anak dengan nyaman.

Demi menahan lelehan airmata, kualihkan sebentar pembicaraan Bu Ida. “Anaknya Yu Kayam sudah berapa, Bu?”

Bu Ida menyahut antusias. “dua, yang besar sudah masuk TK. Sudah segininya ibuk.” Memberi isyarat pada bahunya. “haha, anak jaman sekarang cepet besar. Ibuk nanti bisa kalah tinggi lama-lama. Nah yang kecil baru terantanan. Ilham dan Adin namanya. Si Ilham juga sudah lancar mengajinya.”

“Alhamdulillaah,” responku singkat. Hatiku rupanya belum tertata untuk beralih ke topik lain. Kulempar pandangan ke jalan.

“Nduk,” sambung Bu Ida memecah kebisuan, “kalau anak-anak pintar seperti Marwah ini dan Rizal pada pindah semua ke kota, yang di kampung tinggal pemuda yang miskin ilmu, tidak mau bekerja, sukanya hura-hura. Tapi bukan salah siapa-siapa ya, kalian memang harus bersekolah sampai tinggi. Dan sekolah itu cuma bisa didapat di kota besar.” Bu Ida tertawa lagi. Entahlah, seolah berusaha meyakinkanku bahwa beliau baik-baik saja.

“Ibuk bukannya benci dengan anak muda, tapi gimana, kenyataannya begitu. Kang Sunar suaranya sudah klerak-klerek, tapi tidak ada yang lebih muda yang punya kesadaran menggantikannya jadi muadzin. Jamaah magrib sama subuh tinggal sebaris, tua-tua lagi. Ibuk sedih, sering pas pulang dari magrib di langgar disalip rombongan anak muda naik sepeda motor, rame-rame ndak tau mau kemana. Nah rombongan tadi baru ibuk lihat lagi sebelum subuh, pas ibuk sama bapak siap-siap ke langgar. Sering itu, ndak cuma satu dua kali. Coba nduk Marwah lihat, sekarang rame berdiri kafe-kafe kan? Itu isinya pemuda-pemuda kampung semua. Pada karaokean, gitaran, bersenang-senang. Mereka ndak mikir selain yang buat mereka senang. Boro-boro mikirin ummat.” Bu Ida menebah dada. “Duh Gusti...jangan-jangan kami orang-orang tua ini yang salah mendidik anak-anak kami, sehingga rusak begitu.”

Binar mata Bu Ida benar-benar redup sekarang. Beliau menunduk dalam, seperti menahan sesuatu yang bergolak.

 “Nanti kalau ibuk diambil Gusti Allah, siapa ya yang menggantikan ngajar anak-anak ngaji...?” Sampai pada bagian ini, airmataku tidak tertahan lagi.

Adzan maghrib berkumandang. Ya, suara Mbah Sunar yang klerak-klerek itu mengalun melangit petang. Menghalau kawanan burung kembali ke sarang. Merangkum hangat sore jelang malam.

Aku melangkah cepat dengan perasaan kacau. Kampung tempat lahirku, besarku. Kutinggalkan. Apa yang kukejar di Jogja, jika kampungku sendiri tertinggal mengemis harapan? Di Jogja aku terlibat berbagai program pengembangan ummat melalui gerakan-gerakan mahasiswa. Di mataku, pemuda Indonesia sudah mulai banyak memikirkan masa depan bangsa dan agama. Kritis terhadap kebijakan pemerintah, aktif dalam banyak kegiatan sosial. Pemuda yang mana? Aku terlena. Yang demikian adalah sekian kecil persen dari kenyataan kaum muda terpelajar di negeri ini belum menjadi mayoritas. Selebihnya barangkali bernasib sama dengan yang ada di kampungku. Di mana tanggungjawabku sebagai orang yang dikaruniai kesempatan belajar lebih banyak, otak lebih pintar, serta harta lebih ada dari teman-temanku yang lain?

Kalau nanti di akhirat ditanya sama Gusti Allah ‘kenapa kampung ini rusak’, semoga Ibuk bukan termasuk orang yang disalahkan.”

Bukan Bu Ida tentu. Bukan.

Al Quran Surah At Taubah ayat 122 menggaung sepanjang malam dalam benakku,
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Sabtu, 10 Maret 2012

post-it resolusi: bahagia itu sederhana


Awal tahun 2012 kemarin, aku iseng membuat resolusi. Bagaimanalah, usia sudah 23 tapi hidup masih belum rapi. Segera kukumpulkan bahan2 dari toko stationary sebelah kosan: post it, kertas warna, gabus, gunting, lem, double tape, gunting dll.

Demi 2012 lebih tertata. Azzamku. Semangat benar pas bikin, efek keseringan jadi panitia juru dekor di kampus.

Dua kertas gabus beda warna dipasang horizontal di dinding, tepat di atas posisi kepalaku ketika tidur. Halah, sok filosofis gitulah pokoknya, biar azzamnya nempel terus di otak.

Hasilnya, ada duabelas lembar post-it kuning tertempel manis. Isinya kurang lebih apa yang mau kucapai dalam dua belas bulan dalam tahun 2012 ini, secara global, tujuan besar. Nantinya, setiap capaian harus diikuti dengan pencopotan post-it secara resmi. Ketika itu, membayangkannya saja sudah seperti ada ikat kepala putih di kepalaku. Semangaaattt!!!

Hingga Pertengahan Februari kemarin, tiap memandangi tempelan2 itu aku jadi merasa konyol sendiri. Betapa aku termakan euphoria resolusi-resolusian awal tahun. Nir usaha. Terbukti targetku untuk bulan Januari belum tercapai. Bukan,... bukan belum tercapai, tapi tidak juga kuupayakan tercapai.

Maka dari itu, perlu dilakukan akselerasi. Berat sekali rupanya mematuhi jadwal dan target yang kita bikin sendiri. Tiap memulai sesuatu, ada saja gangguan yang berasal dari rasionalisasi rasa malas. Malas kok dirasionalisasi. Meski memang ada hal-hal di luar kendali. Sebut saja keinginan membeli sepeda agar bisa tiap minggu memanfaatkan car free day, serta mendaftar kursus bahasa Inggris, terbentur kebutuhan seorang saudara. Khusus yang kedua, pegimane mau daftar? Biaya kursusnya saja setara tunjangan per bulanku. Bisa puasa dua minggu sahur dan bukanya pake daun itu...

Kecuali kondisi yang diluar kendali, akhir Februari beberapa hal mulai dirapikan. Jadwal harian, pengeluaran, termasuk langkah antisipatif terhadap hal2 insidental yang mengganggu pencapaian target. (note: bahasa ini agak dilebihkan)

Kawan, “man jadda wajada” bukan isapan jempol. Sabtu, 10 Maret 2012 secara bersamaan aku secara resmi mencopot lima post-it. Silakan menyebutku norak, tapi aku girang bukan main. Mencopot lima lembar post-it resolusi berbarengan itu semacam mendapatkan hadiah undian tanpa dipotong PPh final. Mulai tampak hasilnya jadi polisi bagi diri sendiri, patuhi jadwal dan fokus pada cita-cita. Meski lima lembar post-it, benar kata orang, bahwa bahagia itu sederhana. JJJJ