Jumat, 16 Mei 2014

Wal Yatalatthof

gambar: koleksi pribadi
Kawan, pernah nggak baca Mushaf Alquran cetakan lama, cetakan Indonesia, yang hurufnya keriting, yang pada awal juz font baris pertama underlined? Sayang saya gak punya fotonya. Kalau sudah ketemu kapan2 saya edit ya tulisan ini.
Uniknya mushaf tersebut, ada tanda merah pada border halaman mulai ayat ke lima belasan surah Al Kahfi. Merahnya diperjelas lagi dengan font tebal pada kata "Wal Yatalatthof".

Jadi begini, ada beberapa cerita masa kecil kami (saya dan kakak).
Saat itu saya masih lugu. Abang saya cerita, tentang sejarah tanda merah itu. Saya mendengarkan dengan sepenuhnya, sekaligus mempercayai sepenuhnya.

Dulu kala, ada seorang prajurit yang sedang membaca Al Quran. Ketika sampai pada ayat 19 pada lafadz "Wal Yatalatthof" dia ditusuk dari belakang dengan pedang. Jleppppp.... (begitu Abang saya mengilustrasikan). Muncratlah darah akibat tusukan pedang tersebut membasahi Mushaf yang sedang dia baca tepat pada lafadz "Wal Yatalatthof". Wal yatalatthof jleppp...

Saya benar-benar mempercayai sejarah itu sampai saya lumayan besar lo...dan sejauh yang saya ketahui, sejarah itu dikarang-karang saja sama Abang. Font merah pada lafadz tersebut hanya sebagai tanda pertengahan Alquran. (cek disini--- http://www.konsultasisyariah.com/mengapa-kalimat-walyatalaththof-dalam-alquran-berwarna-merah)
Ilustrasi 'jlepp' pun sering saya ulang-ulang kalau kebetulan membaca ayat ini. Maklum, anak kecil. :))

Selain cerita karangan abang, ada banyak cerita yang dicekokkan orang-orang dewasa kepada anak-anak semasa saya kecil. Bahwa kalau kita menelan biji semangka suatu hari dari kepala kita akan tumbuh pohon semangka, bahwa semburat merah di langit pada petang hari adalah buto (raksasa) yang akan memakan anak-anak, bahwa kalau makan sambil tiduran nanti bisa menjelma jadi ular, dan lain lain...macam-macam.
Kalau saya bilang sih, beberapa dari cerita tersebut merupakan cara orang-orang tua zaman dulu mencegah anak-anak mereka berbuat hal-hal yang tidak terpuji, cara jitu mengarahkan akhlaq. Minimnya informasi justru membuat nilai-nilai yang ditanamkan via cerita fiktif dan ngarang abis itu perfectly internalized. Apa coba sumber pengetahuan anak kecil jaman saya? televisi? wong sampai saya SD kami masih pakai petromaks sebagai penerangan malam hari. Majalah? saya (yang notabene alhamdulillah paling maju bacaannya dibanding bacaan anak-anak tetangga) cuma punya koleksi Bobo dan majalah memasak ibuk. Apalagi internet....ini serius, saya baru bisa menyalakan komputer saat duduk di bangku kelas dua SMP.

Saya bukan bermaksud mencap metode parenting kala itu keliru, tidak. Buktinya 'produk' yang dilahirkan dan besar pada zaman pra internet relatif lebih berakhlaq daripada anak zaman sekarang. Maaf ya internet...harus saya bikin jadi kambing hitam kamu.

Menurut psikolog, yakni orang-orang yang lebih pintar dari saya dalam masalah beginian, usia 0-2 tahun merupakan periode emas anak. Stimulus yang diberikan pada masa itu berperan penting dalam membentuk intelegensia. Sigmun Freud malah bilang kalau masa itu berlangsung sampai dengan usia lima tahun.
Makin oke stimulus kecerdasan yang diberikan orang tua kepada anaknya, makin baik perkembangan intelegensianya. Stimulus kecerdasan ini bukan melulu soal IQ, namun juga EQ dan SQ. Tentang istilah  'kyu kyu-an' ini silakan gugling ya kawan.

Jika orangtua berharap anaknya pinter matematika, bagusnya sering kasih mereka permainan yang merangsang otak kirinya bekerja. Misal "nak, ini ibu lagi nyuci sepuluh buah piring, tiap habis dicuci piringnya kamu yang bilas, kalau ibu selesai nyuci separuh, berarti berapa buah piring yang harus kamu bilas?" atau yang lebih ekstrim ketika seorang bapak sedang bersiap menendang bola, dia berteriak ke anaknya yang sedang menjaga gawang, "nak kira-kira berapa derajat sudut tendangan yang harus bapak bikin supaya dia nyasar tepat di tengah gawang?".
Tentu, banyak lagi yang lebih pintar dari saya untuk masalah ini. Hohoo...

Kembali ke wal yatalatthof,
kisah atau dongeng anak saat ini mungkin dianggap ketinggalan jaman. Orangtua masakini lebih memilih memasukkan anak-anak ke kelompok bermain sejak usia sangat dini. Lalu di rumah mereka difasilitasi dengan mainan-mainan edukatif, televisi kabel yang menayangkan tontonan berbahasa asing, macam-macam lah pokoknya...tapi melupakan cara tradisonal yang harus melibatkan komunikasi intim orangtua/orang dewasa pada anak, face to face, dua arah, dan frekuensi yang berulang. Yakni, bercerita.

Kalau kisah karangan abang tentang sejarah merahnya font wal yatalathof saja bisa merasuk ke dalam pikiran masa kecil saya, kenapa tidak, orangtua atau orang dewasa menciptakan kisah-kisah yang membangun jiwa. Dengan bercerita, kita bisa melihat ekspresi mereka, terkejut, takut, kagum, bosan. Dengan bercerita kita juga bisa melihat langsung respon mereka, ngulet pengen pergi atau pertanyaan-pertanyaan lugu tak berujung. Khusus untuk yang terakhir, ada lo orang-orang berusia tua (saya emoh menyebut orang tipe ini dengan kata 'dewasa') yang benci dengan anak-anak cerewet. Nah dalam rangka menghindari kecerewetan anak, mereka memilih untuk menyediakan saja fasilitas yang tidak memungkinkan komunikasi dua arah. Tayangan di televisi atau video misalnya.
Padahal...Cerewetnya anak adalah dalam rangka ingin tahu, meski terkadang pertanyaan mereka aneh dan tidak berujung.

*Bercerita tentang kancil*
Kancil itu apa?
binatang berkaki empat dek...bentuknya kayak rusa
rusa itu apa?
rusa itu yang punya tanduk dek
tanduknya mana?
itu dek, yang di kepala melengkung melengkung
buat apa?
Buat pertahanan daris serangan musuh dek,

(diam sesaat, si kecil bingung mengeja kata per-ta-ha-nan, lalu melontarkan pertanyaan tidak nyambung)

makannya apa?
kancil punya mama nggak?
Kok kancil nggak pake baju?
Kancil mandinya dimana?
dan seterusnya dan seterusnya...

Tidak ada larangan kok mengarang cerita fiktif. Toh anak akan percaya apapun yang dia dengar dengan takzim. Anak tidak terlahir langsung tahu cerita kancil nyolong timun kok, jadi jangan khawatir dianggap penipu kalau kita mengarang cerita kancil sedekah timun. (Untuk ide ini, saya beruntung punya Abu Wafy :-*)
Dan kebiasaan sedekahnya si Kancil yang diulang-ulang akan perlahan membentuk pribadi si anak. Apalagi jika interaksi anak dengan teknologi informasi dikontrol bener-bener. Nanti ketika dia dewasa dan tidak sengaja menemukan kisah Kancil Mencuri Timun di buku, dia akan punya alarm tolak tersendiri, dan pastikan kita bersedia melayani pertanyaan mereka kenapa kancil mencuri.

Mengajari anak seperti menulis di atas batu,
Jadi, pastikanlah bahwa kebaikan saja yang terukir di dada anak-anakmu.





1 komentar:

  1. Bikin artikelnya flat. Nyasar kemana2 gak langsung menjurus ke topik pembahasan. Yang dibahas apa kok ya membahas apa..

    BalasHapus