Sabtu, 10 Desember 2011

Sabtu Lapak Sarmili, Harusnya Aku Lebih Peduli

Yanti (paling kanan)


Yanti, masih ingat dia? adik TPA lapak prihatin, yg beberapa waktu belakangan ini cukup menyita perhatian kami, para pengajar dan eks pengajar TPA Alfalah. Yanti sudah agak lama memutuskan berhenti sekolah. Kabar yang kudengar ada banyak versi, mulai dari cekcok dengan orangtua, masalah dengan teman sekolah, ketiadaan biaya dan sebagainya yang kalau mau diambil benang merah cukup sulit. Itulah sebabnya aku merencanakan sabtu usai talaqqi di An Nashr untuk menemuinya, atau ibunya.

Yanti adalah sulung dari tiga bersaudara, usianya sekitar 13 tahun. Lahir dan besar di lingkungan yang kurang bersahabat, yang mana seharusnya anak seusianya kala itu mendapatkan kasih sayang penuh dari seorang ibun, Yanti justru besar dalam asuhan neneknya sementara sang ibu bekerja sebagai TKI. Ketika adik pertamanya lahir, keluarga Yanti merantau ke Jakarta (Tangerang lebih tepatnya) dan mempertaruhkan segalanya untuk hidup seadanya, benar-benar seadanya.



anak-anak di Saung Bambu Pelangi
Di Lapak Sarmili, sebutan kami untuk sbuah kompleks pemukiman pendatang di kawasan Jurangmangu Timur, Tangerang Selatan, aku dipertemukan Allah dengan anak-anak manis ini, termasuk Yanti dan keluarganya, yang sepertinya memang menjadi keluarga paling dekat di antara warga lapak. Yanti termasuk anak yang cerdas, semangat belajarnya tinggi dan selalu menjadi yang paling depan mengajak teman2 nya yang lain setiap kali kami datang mengajar. Bacaan Alqurannya paling lancar di antara yang lain, dan sampai aku lulus kuliah,Yanti sudah hampir khatam. Melihat potensi dalam diri yanti, aku menaruh harapan besar padanya. Bahwa ia akan menjadi ujung tombak perubahan di Lapak Sarmili. Menjadi contoh tunas muda yang bercita-cita tinggi dan berhasil meraih cita-citanya.

Karenanya, aku mengazzamkan diri, akan melakukan segala cara untuk dapat membantu Yanti dan anak-anak yang lain agar bisa terus sekolah, terus mengaji, melupakan kebiasaan meminta-minta dan pada akhirnya tidak menuruni profesi memulung dari orang tua mereka. Menempuh perjalanan dari kos kosan ke Lapak Sarmili memang melelahkan, bahkan seringkali rasa malas membayangi setiap niatku berangkat. Kalau rasa malas lebih berkuasa dan aku urung berangkat, bisa dipastikan semalaman kemudian hati ini tidak tenang, seperti telah berhutang.

Manusia paling mulia di jagad ini mengatakan bahwa seburukburuk manusia adalah yang tidak menebarkan manfaat atas ilmunya. Astaghfirullah, jika aku sehat, aku berilmu setidaknya bisa membaca abata dan abece, jika aku punya waktu luang, jika aku masih diberi rizqi berupa makanan dan uang, hendakkah aku disebut termasuk dalam barisan orang terburuk menurut Rasulullah dengan memenangkan rasa malas karena cuaca mendung atau terlampau panas?
“mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik”,  kata Anies Baswedan.

Demikianlah, aku sering berangkat dengan kaki berat. Berangkat dengan setengah hati, berangkat dengan setengah nyawa (baru bangun tidur maksudnya), berangkat dengan angan2 ke mana-mana. Meskipun begitu, segala rasa berantakan yang kubawa dari rumah akan sirna dan capek yang kurasakan akan terbayar. Pekikan anak-anak dari jauh sambil berlari kemudian meraih tanganku, menciumnya, atau memelukku, atau menarik lenganku, atau malah menghilang karena malu belum mandi, menghilangkan segan seketika. Meski sering pula kedatanganku dan teman-teman tidak disambut sehangat itu, bahkan aku harus berkeliling mencari anak yang mau diajak ngaji, menunggu mereka selesai mandi. Pernah suatu kali aku berangkat melewati jalan yang masih kering kerontang, pulangnya harus menerjang banjir hampir selutut. Lapak Sarmili berlokasi di samping sungai pembuangan sampah, sehingga setiap ada hujan besar air sering meluber menggenangi permukiman. Sebuah yayasan keagamaan, yang akan kuceritakan lebih jauh di belakang, pernah menginisiasi progam sekolah sanitasi lapangan untuk ibu-ibu Lapak Sarmili. Mereka diajari cara membuat lubang biopori, menanam tanaman per kepala keluarga, dan mendaur ulang sampah plastik menjadi barang-barang berguna. Cukup berhasil, air hujan besar yang mengguyur Jurangmangu belakangan hanya membuat jalan sekitar becek berlumpur.

Lain kesempatan aku menemani anak-anak belajar mata pelajaran umum, membantu mengerjakan PR dan sebagainya. Khusus Yanti, mungkin aku agak bersikap diskriminatif, dan mungkin orang-orang tahu bahwa aku memeperlakukannya “lebih” dari anak-anak yang lain. Setiap PR yang dilaporkannya kepadaku, akan kusambut dengan tawaran bantuan, baik itu mengerjakan bersama-sama di Saung, di Mushola, atau di kosku. Pernah aku bela-bela datang ke lapak malam-malam untuk mengajarinya matematika. Kalau ada kesempatan belajar di kosku, aku sering menghibahkan perlengkapan yang sudah tak terpakai kepadanya. Aku memantau nilai sekolahnya yang alhamdulillah selalu menjadi peringkat pertama di kelas. Entah karena saingannya sama-sama anak yang “asal sekolah” atau karena PR nya sering kubantu atau memang karena dia rajin, entahlah. FYI, Yanti bersekolah di sekolah gratis untuk kaum dhuafa di mana kebanyakan anak yang bersekolah di sana berasal dari keluarga yang kurang mampu yang sayangnya juga kurang mengerti arti penting pendidikan. Aku juga akan menanyai apakah uang sekolahny sudah terbaya, sehingga jika ada kekurangan aku dan teman-teman bisa membantunya. Semua karena aku berharap banyak padanya.

Aku lulus dari STAN, magang di kota kelahiran, sehingga praktis aku kehilangan kontak dengan Yanti dan anak-anak yang lain.
Beberapa waktu lalu aku mendapat laporan dari adik tingkat yang saat ini memegang kepengurusan Alfalah, komunitas pengajar TPA yang kesemuanya mahasiswa STAN, bahwa Yanti sudah lama berhenti sekolah.
Yap, azzamku diuji. Aku sudah menjadi pegawai bergaji cukup, bahkan lebih. Tidak ada alasan lagi seperti ketika masih kuliah dulu aku tidak bisa mengatasinya. Sayangnya, berhentinya Yanti dari sekolah disinyalir bukan karena masalah biaya. Adik tingkatku belum bisa menemukan alasannya pula sampai saat ini. Itulah yang mendorongku untuk sesegera mungkin menemui Yanti atau keluarganya dan membicarakan masalah ini. Jadilah kemarin usai dari An Nashr aku berangkat ke Lapak Sarmili. Pemandangan yang menyambutku agaknya membuat pikiraanku kacau setelahnya.

Yanti memang berlari mendekati dan mencium punggung telapak tanganku seperti biasa setelah melihatku datang dari kejauhan. Lama tidak bertemu, penampilan Yanti lebih modis, di mataku seperti remaja2 populer SMA yang umunya tergabung dalam klub dance atau cheerleaders. Dua buah mobil menunggunya dan beberapa anak lain. Itu adalah mobil jemputan “kakak kakak bule”, sebut mereka. Aku kurang paham dengan penjelasan Yanti mau kemana mereka, yang terdengar sekilas mau tampil, masuk tivi, dance dan apalah aku tidak mengerti. Oya...belum kutuliskan bahwa Yanti konon telah mendapatkan beasiswa untuk bersekolah kembali dari “kakak kakak bule” tersebut. Ketika kutahan dia untuk sejenak berbincang, Yanti memilih untuk tidak berlama-lama. Ibu dan bapak Yanti sedang tidak ada di rumah, dan memang mayoritas warga Lapak Sarmili tidak ada di rumah mereka siang hari. Anak-anak yang sedang libur sekolah, menurut Yanti, ikut pula bersama dua mobil itu. Setelah bersalaman, aku melihat Yanti dan Tina, adiknya menuju mobil jemputan mereka. Akupun berlalu, mengurungkan niat untuk berbincang dengan Yanti dan keluarga.

Jika mereka, kawan-kawan bule itu datang dengan semangat sosial, murni hanya karena dorongan sosial, aku tidak akan sekhawatir ini. Prasangka menyeruak saat hatiku bertanya mungkinkah bahwa mereka adalah orang yang sama dengan para pengajar sekolah sanitasi, badut yang sering mengambil perhatian anak-anak sementara anak-anak harusnya pergi mengaji, dan orang-orang baik yang beberapa kali membawa simbol2 keagamaan. Sudah beberapa kali ada anak mengadukan gelagat sebagian aktivis tersebut tentang kecondongan pada suatu misi agama tertentu. Haruskan aku mencurigai mereka merupakan missionaris? Aku bukan seorang fundamentalis, aku menghargai keberagaman, apalagi jika keberagaman tersebut menciptakan persatuan yang mengarah pada perbaikan. Betapa indahnya jika kita yang berbeda suku dan agama ini bekerjasama. Tapi bukan begini caranya...

Adik-adikku, anak-anakku di Lapak Sarmili sedang kami perjuangkan untuk diperkuat aqidahnya, mengingat kehidupan mereka sangat jauh dari “kesadaran” beragama. Kefakiran mendekatkan kepada kekufuran, itu yang kami khawatirkan. Orangtua mereka sibuk berusaha dan berpikir caranya menyambung hidup, sehingga bisa jadi anak-anak sementara “tersisihkan”. Aku tidak mau melihat Gono dan Mila meminta-minta di sekitar kampus lagi, aku akan sakit hati mendengar salah seorang dari mereka berbicara kasar dan jorok, aku akan merasa gagal kalau tahu Ria mendapat nilai merah, aku tidak mau mendengar kabar Yanti putus sekolah, dan yang paling penting, aku dan teman-teman akan sangat berdosa jika “kehilangan” salah satu anak itu, dalam artian, aqidahnya tercemar, keIslamannya kabur, bahkan memilih berpindah keyakinan di depan mata kami yang lebih asyik dengan dinamisasi kampus dan kantor. Naudzubillah min dzalik. Maafkan aku teman-teman bule, sebenarnya ini bukan kesalahan kalian. Ini kelalaian aku dan teman-teman yang mengentengkan arti saling menanggung dalam persaudaraan Islam. Kalian punya hak mengembangkan sayap “dakwah” secara agama kalian sebagaimana kami wajib, jika memang misi keagamaan menjadi salah satu proyek kalian di Lapak Sarmili. Sekali lagi bukan, ini bukan salah kalian, ini salah kami.

Berjalan gontai di sepanjang Lapak Sarmili-Bintaro, hatiku remuk. Aku lelah menyadari bahwa selama ini aku memperjuangkan anak-anak setengah hati. Lihatlah kawan-kawan bule. Mereka total, all out, berani mengeluarkan anggaran lebih untuk menyenangkan hati anak-anak, mengajak mereka nonton film bersama bahkan main ke Dunia Fantasi, menggelar sekolah sanitasi, mengembangkan bakat minat dan menyalurkannya, serta melatih warga menjadi lebih mandiri dan sadar lingkungan. Aku dan kawan-kawan? Selain mengajar ngaji dan belajar, kami seolah mengalami kebuntuan ide. Penyesalan dan kekhawatiran bercampur.

Wahai Yang Satu, hindarkan kami dari ketidakpedulian dan dari sikap individualis yang membatukan hati dan membutakan mata kami, dari kesusahan saudara-saudara kami. Teguhkanlah kami dan mereka , warga Lapak Sarmili di jalan Mu, berikan kekuatan agar bisa kami rengkuh mereka dengan kehangatan persaudaraan Islam.


1 komentar: