Yanti (paling kanan) |
Yanti, masih ingat dia? adik TPA lapak prihatin, yg beberapa waktu belakangan ini cukup
menyita perhatian kami, para pengajar dan eks pengajar TPA Alfalah. Yanti sudah
agak lama memutuskan berhenti sekolah. Kabar yang kudengar ada banyak versi,
mulai dari cekcok dengan orangtua, masalah dengan teman sekolah, ketiadaan biaya
dan sebagainya yang kalau mau diambil benang merah cukup sulit. Itulah sebabnya
aku merencanakan sabtu usai talaqqi di An Nashr untuk menemuinya, atau ibunya.
Yanti adalah sulung dari
tiga bersaudara, usianya sekitar 13 tahun. Lahir dan besar di lingkungan yang
kurang bersahabat, yang mana seharusnya anak seusianya kala itu mendapatkan
kasih sayang penuh dari seorang ibun, Yanti justru besar dalam asuhan neneknya
sementara sang ibu bekerja sebagai TKI. Ketika adik pertamanya lahir, keluarga
Yanti merantau ke Jakarta (Tangerang lebih tepatnya) dan mempertaruhkan segalanya untuk hidup seadanya, benar-benar seadanya.
anak-anak di Saung Bambu Pelangi |
Di Lapak Sarmili, sebutan kami untuk sbuah kompleks pemukiman
pendatang di kawasan Jurangmangu Timur, Tangerang Selatan, aku dipertemukan Allah dengan anak-anak manis ini, termasuk Yanti
dan keluarganya, yang sepertinya memang menjadi keluarga paling dekat di antara
warga lapak. Yanti termasuk anak yang cerdas, semangat belajarnya tinggi dan
selalu menjadi yang paling depan mengajak teman2 nya yang lain setiap kali kami
datang mengajar. Bacaan Alqurannya paling lancar di antara yang lain, dan
sampai aku lulus kuliah,Yanti sudah hampir khatam. Melihat potensi dalam diri
yanti, aku menaruh harapan besar padanya. Bahwa ia akan menjadi ujung tombak
perubahan di Lapak Sarmili. Menjadi contoh tunas muda yang bercita-cita tinggi
dan berhasil meraih cita-citanya.
Karenanya, aku mengazzamkan diri, akan melakukan segala cara untuk
dapat membantu Yanti dan anak-anak yang lain agar bisa terus sekolah, terus
mengaji, melupakan kebiasaan meminta-minta dan pada akhirnya tidak menuruni
profesi memulung dari orang tua mereka. Menempuh perjalanan dari kos kosan ke
Lapak Sarmili memang melelahkan, bahkan seringkali rasa malas membayangi setiap
niatku berangkat. Kalau rasa malas lebih berkuasa dan aku urung berangkat, bisa
dipastikan semalaman kemudian hati ini tidak tenang, seperti telah berhutang.
Manusia paling mulia di jagad ini mengatakan bahwa seburukburuk manusia
adalah yang tidak menebarkan manfaat atas ilmunya. Astaghfirullah, jika aku
sehat, aku berilmu setidaknya bisa membaca abata dan abece, jika aku punya
waktu luang, jika aku masih diberi rizqi berupa makanan dan uang, hendakkah aku
disebut termasuk dalam barisan orang terburuk menurut Rasulullah dengan
memenangkan rasa malas karena cuaca mendung atau terlampau panas?
“mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik”, kata Anies Baswedan.
Demikianlah, aku sering berangkat dengan kaki berat. Berangkat dengan
setengah hati, berangkat dengan setengah nyawa (baru bangun tidur maksudnya),
berangkat dengan angan2 ke mana-mana. Meskipun begitu, segala rasa berantakan
yang kubawa dari rumah akan sirna dan capek yang kurasakan akan terbayar.
Pekikan anak-anak dari jauh sambil berlari kemudian meraih tanganku,
menciumnya, atau memelukku, atau menarik lenganku, atau malah menghilang karena
malu belum mandi, menghilangkan segan seketika. Meski sering pula kedatanganku
dan teman-teman tidak disambut sehangat itu, bahkan aku harus berkeliling
mencari anak yang mau diajak ngaji, menunggu mereka selesai mandi. Pernah suatu
kali aku berangkat melewati jalan yang masih kering kerontang, pulangnya harus
menerjang banjir hampir selutut. Lapak Sarmili berlokasi di samping sungai
pembuangan sampah, sehingga setiap ada hujan besar air sering meluber
menggenangi permukiman. Sebuah yayasan keagamaan, yang akan kuceritakan lebih
jauh di belakang, pernah menginisiasi progam sekolah sanitasi lapangan untuk
ibu-ibu Lapak Sarmili. Mereka diajari cara membuat lubang biopori, menanam
tanaman per kepala keluarga, dan mendaur ulang sampah plastik menjadi
barang-barang berguna. Cukup berhasil, air hujan besar yang mengguyur
Jurangmangu belakangan hanya membuat jalan sekitar becek berlumpur.
Lain kesempatan aku menemani anak-anak belajar mata pelajaran umum,
membantu mengerjakan PR dan sebagainya. Khusus Yanti, mungkin aku agak bersikap
diskriminatif, dan mungkin orang-orang tahu bahwa aku memeperlakukannya “lebih”
dari anak-anak yang lain. Setiap PR yang dilaporkannya kepadaku, akan kusambut
dengan tawaran bantuan, baik itu mengerjakan bersama-sama di Saung, di Mushola,
atau di kosku. Pernah aku bela-bela datang ke lapak malam-malam untuk
mengajarinya matematika. Kalau ada kesempatan belajar di kosku, aku sering
menghibahkan perlengkapan yang sudah tak terpakai kepadanya. Aku memantau nilai
sekolahnya yang alhamdulillah selalu menjadi peringkat pertama di kelas. Entah karena
saingannya sama-sama anak yang “asal sekolah” atau karena PR nya sering kubantu
atau memang karena dia rajin, entahlah. FYI, Yanti bersekolah di sekolah gratis
untuk kaum dhuafa di mana kebanyakan anak yang bersekolah di sana berasal dari
keluarga yang kurang mampu yang sayangnya juga kurang mengerti arti penting
pendidikan. Aku juga akan menanyai apakah uang sekolahny sudah terbaya,
sehingga jika ada kekurangan aku dan teman-teman bisa membantunya. Semua karena
aku berharap banyak padanya.
Aku lulus dari STAN, magang di kota kelahiran, sehingga praktis aku
kehilangan kontak dengan Yanti dan anak-anak yang lain.
Beberapa waktu lalu aku mendapat laporan dari adik tingkat yang saat
ini memegang kepengurusan Alfalah, komunitas pengajar TPA yang kesemuanya
mahasiswa STAN, bahwa Yanti sudah lama berhenti sekolah.
Yap, azzamku diuji. Aku sudah menjadi pegawai bergaji cukup, bahkan
lebih. Tidak ada alasan lagi seperti ketika masih kuliah dulu aku tidak bisa
mengatasinya. Sayangnya, berhentinya Yanti dari sekolah disinyalir bukan karena
masalah biaya. Adik tingkatku belum bisa menemukan alasannya pula sampai saat
ini. Itulah yang mendorongku untuk sesegera mungkin menemui Yanti atau
keluarganya dan membicarakan masalah ini. Jadilah kemarin usai dari An Nashr
aku berangkat ke Lapak Sarmili. Pemandangan yang menyambutku agaknya membuat pikiraanku
kacau setelahnya.
Yanti memang berlari mendekati dan mencium punggung telapak tanganku seperti
biasa setelah melihatku datang dari kejauhan. Lama tidak bertemu, penampilan Yanti
lebih modis, di mataku seperti remaja2 populer SMA yang umunya tergabung dalam
klub dance atau cheerleaders. Dua buah mobil menunggunya dan beberapa anak
lain. Itu adalah mobil jemputan “kakak kakak bule”, sebut mereka. Aku kurang
paham dengan penjelasan Yanti mau kemana mereka, yang terdengar sekilas mau tampil,
masuk tivi, dance dan apalah aku tidak mengerti. Oya...belum kutuliskan
bahwa Yanti konon telah mendapatkan beasiswa untuk bersekolah kembali dari “kakak
kakak bule” tersebut. Ketika kutahan dia untuk sejenak berbincang, Yanti
memilih untuk tidak berlama-lama. Ibu dan bapak Yanti sedang tidak ada di
rumah, dan memang mayoritas warga Lapak Sarmili tidak ada di rumah mereka siang
hari. Anak-anak yang sedang libur sekolah, menurut Yanti, ikut pula bersama dua
mobil itu. Setelah bersalaman, aku melihat Yanti dan Tina, adiknya menuju mobil
jemputan mereka. Akupun berlalu, mengurungkan niat untuk berbincang dengan Yanti dan keluarga.
Jika mereka, kawan-kawan bule itu datang dengan semangat sosial, murni
hanya karena dorongan sosial, aku tidak akan sekhawatir ini. Prasangka
menyeruak saat hatiku bertanya mungkinkah bahwa mereka adalah orang yang sama
dengan para pengajar sekolah sanitasi, badut yang sering mengambil perhatian
anak-anak sementara anak-anak harusnya pergi mengaji, dan orang-orang baik yang
beberapa kali membawa simbol2 keagamaan. Sudah beberapa kali ada anak
mengadukan gelagat sebagian aktivis tersebut tentang kecondongan pada suatu
misi agama tertentu. Haruskan aku mencurigai mereka merupakan missionaris? Aku bukan
seorang fundamentalis, aku menghargai keberagaman, apalagi jika keberagaman
tersebut menciptakan persatuan yang mengarah pada perbaikan. Betapa indahnya
jika kita yang berbeda suku dan agama ini bekerjasama. Tapi bukan begini caranya...
Adik-adikku, anak-anakku di Lapak Sarmili sedang kami perjuangkan
untuk diperkuat aqidahnya, mengingat kehidupan mereka sangat jauh dari “kesadaran”
beragama. Kefakiran mendekatkan kepada kekufuran, itu yang kami khawatirkan.
Orangtua mereka sibuk berusaha dan berpikir caranya menyambung hidup, sehingga
bisa jadi anak-anak sementara “tersisihkan”. Aku tidak mau melihat Gono dan
Mila meminta-minta di sekitar kampus lagi, aku akan sakit hati mendengar salah
seorang dari mereka berbicara kasar dan jorok, aku akan merasa gagal kalau tahu
Ria mendapat nilai merah, aku tidak mau mendengar kabar Yanti putus sekolah,
dan yang paling penting, aku dan teman-teman akan sangat berdosa jika “kehilangan”
salah satu anak itu, dalam artian, aqidahnya tercemar, keIslamannya kabur,
bahkan memilih berpindah keyakinan di depan mata kami yang lebih asyik dengan dinamisasi kampus dan kantor. Naudzubillah min dzalik. Maafkan aku
teman-teman bule, sebenarnya ini bukan kesalahan kalian. Ini kelalaian aku dan
teman-teman yang mengentengkan arti saling menanggung dalam persaudaraan Islam.
Kalian punya hak mengembangkan sayap “dakwah” secara agama kalian sebagaimana
kami wajib, jika memang misi keagamaan menjadi salah satu proyek kalian di
Lapak Sarmili. Sekali lagi bukan, ini bukan salah kalian, ini salah kami.
Berjalan gontai di sepanjang Lapak Sarmili-Bintaro, hatiku remuk. Aku
lelah menyadari bahwa selama ini aku memperjuangkan anak-anak setengah hati.
Lihatlah kawan-kawan bule. Mereka total, all out, berani mengeluarkan anggaran
lebih untuk menyenangkan hati anak-anak, mengajak mereka nonton film bersama
bahkan main ke Dunia Fantasi, menggelar sekolah sanitasi, mengembangkan bakat
minat dan menyalurkannya, serta melatih warga menjadi lebih mandiri dan sadar
lingkungan. Aku dan kawan-kawan? Selain mengajar ngaji dan belajar, kami seolah
mengalami kebuntuan ide. Penyesalan dan kekhawatiran bercampur.
Wahai Yang Satu, hindarkan kami dari ketidakpedulian dan dari sikap
individualis yang membatukan hati dan membutakan mata kami, dari kesusahan
saudara-saudara kami. Teguhkanlah kami dan mereka , warga Lapak Sarmili di
jalan Mu, berikan kekuatan agar bisa kami rengkuh mereka dengan kehangatan persaudaraan
Islam.
Speechless... Semangat ukhti. Mudah2an dilancarkan Allah...
BalasHapus